1001:7

687 75 5
                                    

Jangan lupa vote, coment.

Jangan lupa vote, coment

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Jauhin Elen."

Alfian menatap tak setuju dengan permintaan Shana barusan. Ia langsung menggelengkan kepala cepat membuat Shana tersenyum miris.

"Gak mampu?" Shana menatap lekat manik legam milik kekasihnya yang terdiam membisu.

"Elen sahabat aku, Shan. Aku gak mungkin jauhin dia." Setelah beberapa detik terdiam, Alfian akhirnya angkat suara, meksipun jawabannya jauh dari apa yang Shana harapkan.

Gadis itu mulai tertawa, mengalihkan pandangannya dari wajah Alfian. "Oke," balasnya singkat dengan mimik wajah yang berubah drastis. Dingin dan datar.

***

Shana memijat pangkal hidungnya saat matanya lagi-lagi menangkap sosok Elen dan Alfian sedang bergandengan memasuki kantin. Ia kebetulan habis dari toilet, tak sengaja melihat dua orang itu berjalan mesra bersama.

Mata Shana memanas. Jika biasanya gadis itu yang akan digandeng ke kantin, sekarang gadis itu malah dilupakan. Shana meringis dalam hati. Ia memiliki Alfian, namun hati pemuda itu tak sepenuhnya ada padanya.

Suasana sekolah mulai sepi karena bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Kini, hanya ada Shana di ruang kelas. Alfian dan Elen sudah pulang terlebih dahulu.

Gadis itu menghela nafas merasa hampa. Ia merasa sedih dengan nasibnya yang tak sebaik orang di luar sana, meskipun dia tahu ada yang lebih berat darinya. Namun, Shana lemah. Ia tak sekuat yang dipikirkan, jalannya rapuh, dan ia tidak memiliki sandaran.

Seorang ayah yang disebut-sebut sebagai cinta pertama sekaligus hero bagi anaknya tak berlaku di hadapan Shana. Menurutnya, sosok ayah adalah penyumbang luka terbesar bagi dirinya.

Hampir lima belas menit ia habiskan hanya duduk termenung di dalam ruang kelas yang sepi nan sunyi. Kakinya yang sakit perlahan bangkit dan melangkah pergi dari sana, menggendong tas ranselnya yang berwarna hitam.

Gadis berambut hitam yang dikuncir kuda itu terlihat berjalan pelan memasuki cafe tempat ia bekerja usai turun dari angkot.

Ramai.

Satu kata yang mewakili situasi dan kondisi cafe saat ini.

Shana terlihat kerepotan dengan banyaknya pesanan yang datang bertubi-tubi. Belum lagi rekan kerjanya yang terus mengomel mengatakan Shana lamban bekerja.

Vera sangat ahli dalam menjatuhkan mental dan merusak mood Shana. Shana tidak suka dengan gadis itu. Shana juga manusia yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Seharusnya ia bisa maklum, bukan menuntut Shana dapat bekerja secepat robot.

1001 Luka [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang