6. tidak mengerti

0 0 0
                                    

"Mimpi sama ilusi itu beda tipis. Makanya halu adalah jalan terbaik."



Tangan Avily bergerak naik menuju pelipis. Kepalanya terasa sangat berat. Bahkan terasa ada banyak kunang-kunang di sekitarnya. Suara pintu berdecit menandakan ada seseoarng masuk.

"Mama, aku kenapa?" Tanya Avily cepat sebelum Aerim mendudukkan diri di kasurnya.

Aerim mengaduk-aduk bubur di tangannya. "Kemarin kamu pulang kemaleman. Cowo yang sama kamu itu anterin kamu kesini, Mamanya juga ikut. Katanya kamu pengin pulang tapi ketiduran di jalan, tau-taunya demam." Tutur Aerim.

"Emang kemarin kamu kemana aja, sayang?"

Mustahil Aerim tak tahu, karena semalam Arwin menceritakannnya sendiri. Hanya saja, ia ingin memastikan apakah yang di ucapkan cowok itu benar adanya.

"Em, kemaren pas pulang sekolah.." Avily mencuri-curi pandang Aerim. Ia mengembuskan nafas pelan.

"Aku di ajakin Arwin main ke tempat mainnya, disana ada cewe kok Ma, trus dia ajak aku ke rumahnya.."

"Itu aja." Sambung Avily menunduk.

"Yakin itu aja?" Avily menipiskan bibirnya dan mengangguk. "He'em."

"Yaudah, lain kali kalau mau kemana-mana hubungin dulu Mama, ya?"

"Mama ngerasa Arwin bukan cowok baik-baik." Sambung Aerim.

Sebuah suara mengalihkan Avily untuk menutup matanya.

Avily mengerjap. Ia melihat ke sekeliling. Suara ricuh anak perempuan dan lelaki saling beradu di pendengarannya. Ia menunduk, dan terkejut dengan pakaian yang ia kenakan sekarang. Avily mengucek mata guna memperjelas apa yang ia rasa dan alami saat ini, detik ini.

"Baiklah anak-anak, setelah contoh yang saya berikan tadi, adakah yang ingin menjawab soal di papan tulis?" Tanya Bu Dewi, guru fisika Avily.

Avily mengacungkan tangan membuat bu Dewi tersenyum. Bu Dewi bertutur seraya Avily berdiri dan mengambil alih spidol dari tangannya. "Avily enggak pernah mengecewakan ibu. Karena itu ibu sangat senang tiap kali mengajar disini."

Perkataan tersebut malah terus terulang dalam benak Avily. Dapat Avily ingat, itu adalah kalimat yang persis sama dengan yang diucapkan oleh bu Zasa, bu Rima, bu Syara, dam guru-guru lainnya yang mengajar. Tapi, Avily sama sekali tak ingat kapan dan bagaimana itu bisa terjadi.

Seperti De Javu, tapi wangi dari ruangan ini masih persis jelas sama.

Avily kembali dengan menunduk. Ia memperhatikan kedua tangannya bergetar, rasa dingin menyeruak seketika sesaat setelah Avily kembali duduk. Lututnya tiba -tiba lemas dan terua bergetar. Avily memejamkan mata dan merapalkan kalimat sederhana ini.

"Ma.. tolong Rora.."

Dalam pejam, alis Avily tertekuk. Ia mendengar suara yang tidak asing, lagi. Avily membuka mata, ia melihat murid di kelasnya sudah mengenakan baju olahraga. Menunduk, Avily tak kalah terkejutnya dengan beberapa saat lalu. Ia pun sudah mengenakan pakaian olahraga dan sedang memegang secarik kertas yang sudah terdapat tulisan.

"Kamu bener, kan ga boong? Kamu mau ke rumah aku sore ini? Sama tante? Aaa aku seneng banget!" Avily membacakan isi surat tersebut. Tangannya gatal dan cepat-cepat melipatnya menjadi beberapa bagian yang kemudian ia beri pada Arwin.

Respon cowok itu, terlampau cuek membuat hati Avily berdenyut sakit. Avily memegang dada menatap Arwin tak percaya. "Kamu lebih mentingin dia daripada aku ya? Oke, kalau gitu nggak usah temuin gue lagi!" Cerca Avily memburu.

Arwin Avily tinggalkan dan mengambil langkah seribu demi menjauhi cowok brengsek satu itu. Avily buru-buru masuk dan mengunci ruangan yang ia masuki secara tak sengaja. Dadanya masih berdenyut sakit, rasa kesal nya semakin menjadi setiap kali terlintas wajah Arwin di benaknya.

"Brengsek, lo Arwin! GOBLOK LO ARWIN! LO LEBIH MILIH DIA KETIMANG GUE! ANJING MANA SAKIT LAGI DADA GUE, INI KENAPA SIH BANGSAT!" Teriak Avily menggebu-gebu.

Di lain sisi ruangan tersebut, bangunlah seorang cowok yang dari tadi mendengar teriakan Avily. Ia menatap lamat Avily karena benar-benar tak mengetahui siapa cewek satu itu. "Lo ganggu orang tidur tau gak." Tuturnya yang membuat jantung Avily yang tadi sakit terlonjak kaget. Suara serak nan menggema akibat kosongnya ruang tersebut membuat Avily berhasil ketakutan.

"Astaga. Ada hantu penjaga ruang musik, gue harus gimana!" Teriak Avily pelan. Ia hendak keluar sebelum cowok itu berdiri dengan memasukkan kedua tangannya pada saku celana.

"Kalem aja, neng. Gue lagi ngadem disini." Sahut lelaki tersebut.







TBC!!

R' Avily 'ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang