Hari sudah malam, Juna dan Chika berpamitan untuk pulang ke Jakarta. Juna duduk bersila di hadapanku yang menyandarkan diri di sebelahku yang berada di sofa ruang tamu, "Sab, gue sama Chika pulang, ya. Besok atau lusa pasti gue akan ke sini lagi," ujarnya lembut.
Aku berusaha mengelus pipinya dengan tanganku yang sangat gemetar ini, "Hati-hati ya, Jun. Salam buat Mama Tiwi dan Ayah. Bilang 'Sabrina kangen ingin peluk'. Terima kasih ya, Jun," aku berusaha tersenyum kepadanya.
"Lo harus jadi Ibu yang kuat ya, Sab. Lo harus sehat terus, biar bisa peluk langsung Mama dan Ayah nanti," Juna merapihkan rambutku.
"Aamiin, terima kasih ya, Jun," aku meneteskan air mata.
"Kak, Chika juga pulang, ya. Kalau butuh apa-apa telepon saja ya, Kak," Chika mengelus jemariku yang berada digenggaman Juna.
"Terima kasih, Chik," aku mencoba tersenyum kepadanya.
Mereka akhirnya pulang, aku hanya bisa berharap mereka tidak lelah untuk ke sini lagi hanya untuk melihat keadaanku. Aku sangat butuh mereka dengan keadaan Revan yang seperti ini. Revan melihat ke arahku, aku mencoba mengalihkan pandanganku. Aku hanya takut, dia marah kembali karena tubuhku yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
"Pindah ke kamar yuk, Sab. Di sini dingin, nanti kamu tambah sakit," ujar Revan sambil membantuku untuk berdiri. Aku hanya mengangguk pelan dan berusaha tersenyum kepadanya.
Sebelum tidur, dia membasuh seluruh tubuhku dengan air hangat menggunakan kain. Aku tidak bisa berdiri terlalu lama, jadi dia berinisiatif memandikanku dengan cara ini. Dia menggantikanku pakaian dan juga menyematkan selimut untukku. Aku membuka pembicaraan kepadanya sebelum aku terlelap.
"Van," panggilku pelan.
"Iya, kenapa, Sab?" Sahutnya sambil memasukkan pakaian ke dalam lemari.
"Jangan tinggalin aku sendiri, Van. Aku nggak bisa berjuang tanpa kamu. Jangan marah lagi. Aku hanya nggak bisa milih antara kamu dan juga anak kita. Maafin aku yang selalu nyusahin kamu, Van," jelasku menangis tersedu-sedu.
Revan menghampiriku dan duduk di bawah samping kasur sambil menghela napas panjang, "Aku minta maaf sudah ninggalin kamu sendirian dalam masalah ini. Terlihat egois sekali aku, Sabrina. Aku hanya nggak bisa ngejalanin hidup tanpa kamu. Tolong, Sab, kasih aku pilihan," ujarnya cemas.
"Aku memilih meninggalkan Sekte, sesuai permintaan kamu. Ini memang tanggung jawabku atas pelanggaran perjanjian. Aku yang salah telah bawa semua orang masuk ke dalam kesusahanku, Van. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan tetap berjuang, Van. Melihat kamu seperti ini, aku semakin nggak kenal sama kamu. Ini ketakutan terbesar aku, kamu membenciku, Van," aku menangis tersedu-sedu.
Dia membantuku untuk duduk dan langsung memelukku erat. Dia meminta maaf berulang kali atas sikap dan ucapannya kepadaku. Aku hanya berharap, dia paham atas semua ini.
"Jangan tinggalin aku, Sabrina. Aku mohon!" ujar Revan di dalam pelukkan ini.
"Aku selalu sama kamu, Van. Aku nggak akan ke mana-mana," jelasku. "Van, pandanganku gelap," padanganku menghitam setelah itu.
REVAN STORY
Sabrina tidak sadarkan diri di dalam pelukan Revan. Dia berteriak memanggil nama Sabrina dan menangis histeris melihat keadaan isteri-nya. Revan merebahkan tubuh Sabrina dan mencoba menyelimutinya. Dia berinisiatif untuk menelepon Juna, meminta pertolongan mereka.
"Jun! Sabrina tiba-tiba nggak sadarkan diri, Jun!" Jelas Revan yang sangat panik.
"Gue akan putar balik. Sepertinya, gue sama Chika akan bermalam di sana," ujar Juna.
![](https://img.wattpad.com/cover/197388518-288-k403954.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SABRINA: LOVE IS A CURSE [TERBIT] | CIRCLE OF DARKNESS [AKAN TERBIT]
HorrorSipnosis: CERITA 1 Judul: Sabrina (Love is a curse) SUDAH TERBIT DI PENERBIT MENGUBAH SEMESTA @mengubahsemesta Genre: Horror, Romance, Fantasy, Mystery Semua orang pasti ingin mempunyai teman di masa hidupnya, termasuk Sabrina. Misel adalah teman pa...