SABRINA 2 - BAB VII

43 6 0
                                    

Hari sudah pagi, belum saja membuka pintu sudah banyak yang mengantri untuk dibantu oleh Revan. Tidak sedikit yang mencibir Revan menggunakan ilmu hitam sebagai metodenya, tetapi Revan sama sekali tidak menggunakan ilmu tersebut. Revan selalu berkata bahwa kekuatan dan ilmunya hanya jembatan pertolongan Tuhan untuk semua orang di muka bumi ini. Revan belum mengizinkanku untuk membantu 100% dalam pekerjaannya karena fisik dan jiwaku belum siap sepenuhnya.

Setiap pagi rutinitasku adalah berbelanja ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk dimasak. Terkadang, Bibi ikut denganku jika pekerjaan membersihkan rumah sudah selesai. Namun, hari ini aku sendiri, tidak ditemani olehnya.

Aku berjalan kaki menuju pasar, jaraknya tidak jauh dari rumah. Jalan setiap pagi, aku anggap sebagai olahraga kecil untuk kesehatanku. Aku menyusuri jalan tapak demi setapak. Aku melewati sebuah rumah yang cukup besar dengan arsitektur yang sangat kuno. Pintu pagar rumah ini cukup tinggi terbuat dari kayu dicat warna hitam pekat dan selalu tertutup, tetapi terdengar ramai sekali di dalamnya. Aku penasaran dan mencoba mendekati rumah ini. Aku mengintip dari sela-sela pagar, terdapat banyak orang berjubah merah marun dan menutupi kepalanya dengan tudung yang satu setelan dengan jubahnya. Mereka melingkar sambil berputar perlahan di halaman rumah, entah apa yang mereka lakukan, aku bergegas pergi dari tempat yang aneh ini, dan kembali melanjutkan perjalanan menuju pasar.

****

Sesampainya di rumah kembali, hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berada di sini. Aku melewati beberapa orang-orang yang masih menunggu di teras rumah. Ada seorang pria yang terlihat tidak jauh usianya denganku, dia menggodaku saat ingin masuk ke dalam rumah.

"Ternyata isteri-nya cantik juga ya, bolehlah ya," ujar pria ini kepada salah satu pria di samping kanannya. Aku mencoba menghiraukan dan tetap berjalan untuk masuk ke dalam rumah, tetapi dia mencoba menyentuh pergelangan tanganku, "Jangan buru-burulah!"

Seketika aku mengkibaskan tangan kananku yang dia sentuh, pria itu terlempar hingga membentur dinding teras rumah ini. Aku melihat ke arah jemariku, aku sangat bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Aku merasa tidak layaknya orang normal pada umumnya. Revan keluar dari dalam rumah dan melihat orang-orang ramai membantu pria itu untuk bangkit. Seorang ibu seketika berkata cetus kepadaku dengan menunjuk-nunjuk ke arah wajahku.

"Kamu punya ilmu hitam ya, dasar perempuan nggak benar!" Cetus ibu itu.

Aku menggeleng-gelengkan kepala cepat sambil mengigit jemariku. Aku sangat kebingungan dan cemas sekarang. Aku tidak bisa mengontrol pikiranku saat ini. Aku tidak bisa berada di situasi yang seperti ini, aku trauma.

"Udah, ayuk, kita pergi! Pasti di sini pakai ilmu nggak benar!" Teriak ibu itu dan mengajak semua untuk pergi meninggalkan rumah ini.

Aku masuk ke dalam rumah sambil menangis tersedu-sedu. Semua karena ulahku usaha Revan selama ini menjadi sia-sia. Bibi menanyakan keadaanku, aku mengabaikannya, dan tetap berjalan menuju kamar. Aku duduk di tepi tempat tidur, badanku gemetar, aku tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa menangisi keadaan saja.

"Sab," sapa Revan dari pintu masuk kamar yang menyusul langkahku.

"Udah kamu di situ saja, jangan dekat-dekat sama aku. Nanti kamu bisa celaka, Revan!" Aku menangis tersedu-sedu saat menjelaskannya.

Revan tetap mendekatiku dan duduk tepat di belakangku saat ini. Dia hanya diam tanpa sepatah kata terucap dari mulutnya. Aku masih meneteskan air mata, rasanya tidak percaya aku bisa melakukan semua itu, sungguh di luar kendaliku. Satu jam lebih, aku saling diam tanpa ada pembicaraan yang dimulai baik dari pihak Revan mau pun dariku. Aku berinisiatif untuk memulai pembicaraan dengannya.

"Van," sapaku sambil menghapus air mata.

"Iya," sahutnya lemas.

"Maafin aku, Van. Tolong jangan diemin aku. Aku butuh kamu," ujarku yang masih membelakanginya.

Revan langsung memelukku dari belakang, "Aku di sini."

Aku mengelus kedua tangannya yang memeluk pinggangku dari belakang. Aku sangat yakin banyak pikiran yang menghantamnya kali ini, pasti dia berpikir bahwa usahanya untuk membantu orang akan sirna begitu saja karena kehadiranku di kehidupannya. Aku mencoba Dmenjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, agar menjadi tidak serumit ini.

"Orang tadi godain aku, Van. Dia nyentuh pergelangan tanganku dan aku coba melawan. Aku hanya ingin menghindar tetapi dengan satu kibasan tanganku, dia terlempar. Kamu sampai dipikir pakai ilmu nggak benar sama ibu tadi hanya karena aku, Van. Aku emang nggak ada gunanya di hidup kamu," aku meneteskan air mata.

Revan membalikkan tubuhku ke arahnya, "Ssshhh, ssshhh, udah lupain aja, ya. Kalau kita ikhlas, pasti ada jalan kok. Jangan dipikirin lagi, ya. Maaf udah diemin kamu tadi."

Aku hanya menganggukkan kepala di hadapannya, dia meraih tubuhku, dan mendekapku erat. Aku tiba-tiba merasa mual saat ini, "Uweeee!" Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku.

Revan menyusulku, "Kamu kenapa, Sab?" Tanya Revan menggosok-gosok punggungku.

Aku membersihkan muntahanku, "Aku nggak apa-apa kok, Van. Hanya agak mual aja," jelasku.

Revan membantuku berjalan ke tempat tidur dan merebahkan tubuhku di kasur, "Sayang," panggilnya setelah itu.

"Iya, Van," sahutku.

"Kamu nggak mau nyoba tes kehamilan?" Tanya Revan ragu.

"Hmm, boleh, Van. Tolong belikan di supermarket ya, Van. Aku nggak kuat jalan, kepalaku pusing," jelasku lemas.

"Ya sudah, sebentar ya, kamu nggak apa-apa kan, aku tinggal sebentar?" Tanyanya dengan senyum semeringah.

"Iya, nggak apa-apa, Van," ujarku.

Dia bergegas pergi dengan semangat. Aku sangat yakin, dia sangat berharap untuk memiliki seorang anak. Di satu sisi, aku merasa senang melihat semangat Revan, tetapi di sisi lain, aku menjadi takut jika mengecewakannya dengan hasil yang tidak sesuai harapan.

Setelah Revan kembali dari supermarket, aku langsung melakukan tes kehamilan di kamar mandi. Revan senantiasa menunggu di depan kamar mandi. Aku sangat yakin, dia mengharapkan hasil yang positif. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku duduk di kloset duduk kamar mandi, aku menunggu hasil yang akurat sekitar beberapa menit, dan ternyata garis hanya satu. Aku meneteskan air mata, entah bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya yang menunggu kabar baik di luar sana. Aku mencoba memberanikan diri untuk keluar dari kamar mandi untuk bertemunya, dia langsung berdiri dari tempat duduknya saat melihatku.

"Gimana, Sab?" Tanyanya semangat.

Aku hanya menunduk dan menggelengkan kepala pelan. Dia sudah mengerti apa maksudku. Dia memegang kedua pipiku agar dapat menatapnya, "Nggak apa-apa, Sayang, mungkin belum rejeki," dia melontarkan senyuman kepadaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum ragu kepadanya. "Kamu istirahat ya, sepertinya kamu udah kelelahan sama kegiatan sehari-hari. Mau aku bikinin, apa? Teh manis hangat, mau?" Lanjutnya.

Aku menggelengkan kepala dan tersenyum kepadanya, "Nggak, aku hanya mau kamu temenin aku di kamar. Boleh, nggak?" Tanyaku ragu.

"Ya boleh dong!" Dia langsung merangkulku berjalan ke kamar dan mendekapku di atas tempat tidur setelah itu. Rasanya sangat nyaman berada di dekapan Revan.

***********************************************************************************************

Terima kasih sudah membaca cerita SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS. Jangan lupa vote dan berikan komentarnya ya, karena support kalian sangatlah berharga. Tunggu kelanjutan cerita SABRINA, hanya di wattpad. See you on the next part!

Warm Regards,

INDRI HELWINA

SABRINA: LOVE IS A CURSE [TERBIT] | CIRCLE OF DARKNESS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang