Keseluruhan hidupku sudah berubah sepenuhnya, terjerumus ke dalam lubang gelap memang sulit untuk menentukan jalan yang benar dan mana yang harus diambil. Semua orang menasehati bagaikan orang-orang yang ingin menolong dari arah luar lubang, tetapi mereka hanya bisa melihat bagian luar tanpa tahu keadaan sebenarnya bagimana di dalam lubang tersebut.
Revan layaknya malaikat penolongku yang menuntunku agar keluar dari lubang gelap ini. Aku sudah tidak tahu lagi jika dia tidak ada di hidupku, aku akan tersesat, dan kekal di dunia kegelapan.
Malam ini, Revan membantuku untuk membersihkan diri di kamar mandi. Dia menuntun jalan di setiap langkahku dengan penuh hati-hati. Aku duduk di closet yang berada di kamar mandi karena sudah tidak sanggup untuk berdiri terlalu lama. Umurku masih kepala dua, tetapi tubuhku layaknya lansia yang butuh bantuan orang lain kemana pun.
Rasanya baru beberapa hari aku merasa lebih sehat dari sebelumnya, tetapi kesehatanku mulai menurun kembali. Aku membuka piyamaku, Revan langsung terkejut melihat tubuhku karena bercak dan garis hitam yang ada di wajahku menjalar ke seluruh area punggungku. Bentuknya seperti urat namun bukan berwarna hijau tetapi berwarna hitam pekat. Aku mengatur napas dan meneteskan air mata karena rasa cemas yang menghampiri.
Revan berlutut di hadapanku, "Ssshh, ssshh, nggak apa-apa kok. Maaf ya, aku bikin kamu cemas," dia menghapus air mataku.
"Aku takut," jawabku singkat tanpa menatapnya.
"Kita jalanin sama-sama ya, Sab," dia berusaha tersenyum di hadapanku.
"Kalau aku nggak ada, kamu nanti sama siapa, Van?" Tangisanku pecah.
Dia menggenggam jemariku, "Seperti kata kamu, kamu akan baik-baik saja ya, Sab. Kamu sudah janji sama Juna juga kan, untuk sehat? Kamu harus semangat demi anak kita, demi ketemu lagi sama Ayah dan Mama Tiwi, kumpul lagi sama Juna dan Chika, kamu masih ingin itu, kan?" Jelasnya lembut.
"Tentu! Habis ini apa boleh, aku telepon orang tuaku, Van?" Aku mulai lebih tenang dibanding sebelumnya.
Revan menganggukan kepalanya, "Boleh kok," dia membantuku berdiri setelah itu, "Kita bersihkan badan kamu dulu ya," lanjut Revan. Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum ragu untuk menanggapinya.
Setelah mandi, aku berusaha memakai piyama yang sudah disediakan oleh Revan sebelum aku mandi tadi. Aku sudah salah besar menganggapnya tidak berjuang bersama akhir-akhir ini. Sekarang aku harus memaksimalkan apa pun yang aku bisa. Meyakini diri bahwa aku akan kembali normal dan dapat bertemu dengan anakku bahkan dapat membesarkannya.
"Bisa pakainya, Sayang?" Tanya Revan saat melihatku mengenakan celana.
"Bisa kok, nggak apa-apa biar aku sendiri saja," ujarku meyakinkannya.
Dia senantiasa memerhatikanku untuk mengenakan celana. Sepertinya, dia hanya ingin memastikan bahwa aku bisa dan tidak butuh bantuannya.
Revan menepati janjinya untuk menghubungkanku melalui teleponnya dengan kedua orang tuaku. Aku sangat rindu mereka, setidaknya walaupun tidak bisa bertemu langsung, mendengar suara mereka saja sudah sangat bersyukur. Revan memberiku waktu untuk menelepon di kamar seorang diri. Sepertinya, dia ingin memberi waktu sepuasnya untuk bercerita banyak kepada mereka tanpa ragu sedikit pun.
"Halo! Halo! Revan! Sabrina gimana, Nak? Dia berobat di daerah mana? Mama sama Ayah khawatir, memangnya Sabrina sakit apa, Van?" Mama Tiwi terdengar sangat cemas.
"Halo, Mah! Ini aku, Sabrina," ujarku ragu.
"Ya Allah, Sayang! Kamu kenapa, Nak?" Mama Tiwi terdengar menangis.
"Aku nggak apa-apa, Mah. Jangan khawatirin, Sabrina, ya!" Ujarku menahan isak tangis.
"Kamu di mana, Sabrina? Kami nyusul kamu saja, ya?" Mama Tiwi terdengar sangat cemas.
"Jangan, Mah. Sabrina, nggak apa-apa kok," air mataku mulai menetes dengan sendirinya. "Bayangin Sabrina baik-baik saja di sana. Mama sama Ayah, jaga diri ya, jangan khawatir sama keadaan, Sabrina. Di sini Sabrina, pasti baik-baik saja kok," jelasku sambil menahan isak tangis.
"Kamu janji akan baik-baik saja kan, Sabrina?" Suara Mama Tiwi bergetar.
"Pasti!" Aku terdiam sejenak. "Hmm, Sabrina, mau istirahat dulu ya, Mah. Salam buat Ayah dan Juna, di rumah. Sabrina, kangen!" Ujarku.
"Kita juga kangen sama kamu, tidur yang nyenyak ya, Sayang!" Ujarnya dan aku langsung mematikan telepon, lalu menangis tersedu-sedu setelah itu. Revan masuk ke dalam kamar. Sepertinya, dia mendengar suara tangisanku dari luar. Dia langsung mendekapku dan mencoba menenangkanku.
"Ssshhh, ssshhh, nggak apa-apa ya, Sab. Ssshhh, ssshhh," dia mengelus kepalaku berkala.
"Aku kangen mereka," ujarku gemetar karena tangisanku semakin histeris di dekapannya.
"Iya, Sayang," dia mencium kepalaku.
"Kamu nggak akan pergi kan, Van? Jangan tinggalin aku, Van, aku mohon!" Aku meremas baju yang dia kenakan.
"Aku nggak kemana-mana kok, tenang, ya!" Dia berusaha meyakinkanku.
Rasa kesepian, hampa, rindu, takut, dan cemas, semua di benakku sekarang. Memikirkan keadaanku yang tidak kunjung memulih, membuat aku semakin frustasi dibuatnya. Aku hanya memiliki Revan dalam hidupku, aku semakin takut kehilangannya dalam keadaan apa pun. Aku terdengar egois, namun aku sudah cukup menderita menjalani semua ini. Jika bukan karena Revan, mungkin bisa saja aku lebih memilih mengakhiri hidupku. Aku sangat bergantung padanya.
"Van, kalau kamu lelah, aku minta maaf. Hidup aku sudah bergantung sama kamu, Van. Aku minta maaf akan menyusahkan kamu selama aku masih hidup di dunia ini," jelasku dalam tangisan.
"Ssshhh, ssshhh, bahkan sampai akhirat pun, aku akan selalu sama kamu dan nggak akan merasa disusahkan. Aku bahagia kalau kamu selalu di sampingku, Sabrina. Aku mohon, jangan berpikir kalau aku akan tinggalin kamu ya, I love you more than anything!" Jelas Revan.
Aku melepas dekapannya, "Aku memang terdengar egois, aku juga yakin kamu bisa mendapatkan yang lebih-lebih baik daripada aku, tetapi aku hanya punya kamu di hidupku, aku sangat-sangat takut dengan kepergian yang sama sekali tidak aku inginkan," jelasku sambil mengatur napas.
Dia mengecup keningku dan menggenggam jemariku setelah itu, "Nggak ada yang lebih baik dan bahkan lebih buruk kok, di hidupku juga hanya ada kamu, kita sama-sama berjuang untuk keluarga kecil ini ya, Sab," dia mengelus pipiku dengan senyuman hangat.
"Pasti, Van, semoga anak kita bangga sama kita ya, Van," ujarku berusaha memberikan senyuman kepadanya.
"Anak kita pasti akan bangga, apalagi melihat ibunya yang pantang menyerah untuk perjuangin dia dan ditambah memiliki ibu yang cantiknya luar biasa seperti kamu," jelas Revan mengusap kepalaku.
Aku tersenyum lepas setelah itu, aku merasa tenang dan kembali semangat mendengar penjelasan Revan. "Ya Allah! Maafkan aku, aku sangat mencintainya!" Ujarku dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Juna mengabarkan bahwa Mama Tiwi bercerita kepadanya mengenai aku yang meneleponnya tadi. Juna hanya bisa menutupi dan pura-pura tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mama Tiwi masih mengkhawatirkan keadaanku, aku merasa sangat beruntung memilikinya, walaupun dia bukanlah ibu kandungku, namun kasih sayangnya sama besarnya seperti yang diberikan ibu kandungku.
"Ya Allah, tenangkan pikiran dan hati Mama Tiwi, hamba tidak ingin dia menjadi sakit karena memikirkanku," doaku dalam hati.
**************************************************************************************
Terima kasih sudah membaca cerita SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS. Jangan lupa vote dan berikan komentarnya ya, karena support kalian sangatlah berharga. Tunggu kelanjutan cerita SABRINA, hanya di wattpad. See you on the next part!
Warm Regards,
INDRI HELWINA
![](https://img.wattpad.com/cover/197388518-288-k403954.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SABRINA: LOVE IS A CURSE [TERBIT] | CIRCLE OF DARKNESS [AKAN TERBIT]
HororSipnosis: CERITA 1 Judul: Sabrina (Love is a curse) SUDAH TERBIT DI PENERBIT MENGUBAH SEMESTA @mengubahsemesta Genre: Horror, Romance, Fantasy, Mystery Semua orang pasti ingin mempunyai teman di masa hidupnya, termasuk Sabrina. Misel adalah teman pa...