Jam menunjukkan pukul 03:00 WIB, semua yang sedang tertidur menjadi terbangun karena mendengar teriakan histeris Sabrina. Semua langsung menghampiri Sabrina untuk melihat keadaannya dan mengapa dia berteriak begitu keras. Kami memasuki kamar dan melihat Sabrina sedang berdiri membelakangi kami di depan kaca sambil menutupi wajah dengan tangannya.
"Kenapa, Sab?" Revan menghampiri dan membalikkan tubuh Sabrina untuk menghadapnya.
"Astaghfiruallah!" Ucap semua saat melihat wajah Sabrina.
Wajah Sabrina terlihat cukup menyeramkan. Mata sebelah kanan Sabrina sangat merah dan juga memar di sekelilingnya serta dari arah dahi hingga pipi kanannya terdapat garis seperti urat berwarna merah kehitaman yang menjalar seperti akar. Sabrina sangat terlihat cemas, Revan langsung memeluk Sabrina dengan erat. Juna dan Chika menghampiri Sabrina, mereka langsung memeluk Sabrina secara bersamaan.
"Kita berjuang sama lo kok, Sab. Tenang, ya!" Ujar Juna.
JUNA STORY
Pagi tiba, Sabrina terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Dia sudah bisa bangkit dan berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun dia menjadi sedikit pendiam setelah sesuatu yang menimpa wajahnya. Sabrina duduk dengan meluruskan kakinya di atas kasur kamarnya. Juna berinisiatif untuk menghampiri Sabrina yang terlihat murung sejak tadi.
"Kenapa diam saja, Sab? Biasanya bawel ngecengin gue mulu. Ayuk, ngecengin gue dong, Sab," ujar Juna dengan senyum semeringah.
Sabrina tersenyum mendengar perkataan Juna, "Gue nggak apa-apa kok, Jun. Tumben minta dicengin, biasanya ngomel kalau dicengin sama gue," sahut Sabrina tersenyum lemas.
"Hahaha, kangen gue dicengin sama, lo. Eh, gue ada sesuatu buat lo, Sab," ujar Juna merogoh kantongnya dan memberikan Sabrina sebuah gelang rajut berwarna hitam. "Ini Juno yang kasih waktu kita dipisahin. Dia minta gue pakai ini, agar gue selalu ngerasa dia di samping gue. Sepertinya, sekarang lo yang butuh ini, Sab. Kalau lo merasa berjuang sendiri, anggap saja Juno lagi sama lo ya, Sab. Gue juga yakin, Juno selalu sama lo hingga detik ini," jelas Juna dengan senyuman.
Sabrina terlihat sangat bahagia mendengar penjelasan Juna. Sabrina meminta dipakaikan pada pergelangan tangannya dengan senyuman semeringah. "Kalau lo kangen sama, Juno. Lo bisa lihat gue kan, Sab. Nggak ada bedanya gue sama dia. Beda sih, dikit otaknya. Yaaa, tapi nggak jauh-jauh amatlah bedanya, 11 15 lah kira-kira, hahaha," gurau Juna membuat Sabrina tertawa terbahak-bahak setelah itu.
SABRINA STORY
Saat sedang bercanda gurau dengan Juna, Revan memerhatikanku sambil tersenyum di depan pintu kamarku. Aku hanya bisa tersenyum membalas senyumannya yang mengandung banyak makna itu. Juna sepertinya sadar atas kehadiran Revan dan langsung memberikan waktu kepada Revan agar dapat berbicara denganku.
"Gue ke Chika dulu ya, Sab. Kasihan juga dia sendirian dari tadi," ujar Juna.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya. Revan menghampiriku setelah Juna berjalan keluar dari kamar.
"Maaf ya, aku jadi ganggu kamu sama, Juna," dia duduk di sampingku dan mengelus telapak tanganku.
"Apa sih kamu, nggak ganggu kok," jelasku mencoba tersenyum kepadanya.
"Gimana, kamu udah enakkan badannya?" Tanya Revan.
"Yaa, seperti yang kamu lihat saja, Van," timpalku.
"Aku sudah belikan kamu sarapan, kamu mau makan, kapan?" Tanya Revan.
"Nanti saja," jawabku.
Rasanya seperti ada kejanggalan saat membuka pembicaraan dengan Revan. Sepertinya, perubahan sifat dan sikapnya sangat berpengaruh besar terhadap persepsi dan pikiranku saat ini. Semoga sifat lembutnya ini dapat kembali seutuhnya. Bagaimana pun juga, aku sangat mencintai dan membutuhkannya untuk selalu mendampingiku.
"Van, boleh minta sesuatu, nggak?" Tanyaku.
"Apa, Sayang?" Tanyanya mulai mendekat dengan tubuhku.
"Mau dipeluk, boleh? Aku merasa lelah banget. Bukan fisik sih, tapi lebih ke batin," jelasku ragu.
Revan langsung memelukku erat. Rasanya memang sangat nyaman sekali berada di dekapannya.
"Kangen sama kamu, Van," ujarku.
"Aku selalu di sini setiap harinya, Sab," jelas Revan.
"Tapi aku tetap merasa sendiri. Merasakan kamu seperti ini sekarang, membuat Revan yang biasa aku kenal kembali," aku menyandarkan kepalaku di dadanya.
Dia mengecup kepalaku, "Aku minta maaf, aku benar-benar menyayangimu, Sabrina!" Aku hanya mengangguk pelan setelah itu.
****
Keesokkan harinya, aku ingin mencoba berjalan sendiri untuk menikmati udara di luar rumah, rasanya tubuh ini sedikit lebih kuat dari sebelumnya. Chika menawarkan diri untuk menemaniku, tetapi aku menolaknya. Rasanya aku sudah terlalu banyak merepotkan orang banyak. Kebetulan, Revan dan Juna sedang membeli keperluan rumah, jadi aku cukup bebas untuk melaksanakan niatanku ini.
Aku keluar memakai pasmina hitam dan juga masker untuk menutupi wajahku. Aku khawatir jika orang lain melihatnya, mereka akan takut kepadaku. Wilayah di lingkungan sekitar rumah baruku cukup sepi, kemungkinan hari ini adalah hari libur jadi orang-orang di sekitar memilih meninggalkan rumah untuk berlibur.
Aku berjalan perlahan menikmati udara yang cukup sejuk di daerah sini. Aku menghentikan langkahku seketika, aku mendengar suara seorang laki-laki memanggil namaku dari belakang. Aku membalikkan tubuh dengan segera karena penasaran siapa yang telah memanggil. Aku langsung memundurkan langkah saat melihatnya, "Aldo!" Aku terkejut melihatnya hadir.
"Hi, Sabrina!" Ujarnya dengan senyuman.
"Kok kamu bisa tahu, aku di sini?" Tanyaku heran.
"Itu tidak penting. Apa yang terjadi dengan wajahmu?" Tanyanya.
"Bukan urusan kamu!" Tegasku dan mencoba meninggalkannya.
"Kamu akan lebih jauh menderita, Sabrina. Tolong, berhenti untuk menentangnya dan kembali lagi ke sini," jelasnya sambil mengikuti langkahku.
"Aku sama sekali tidak peduli dengan ucapan kamu, Aldo!" Aku meneteskan air mata.
"Aku sangat peduli, Sabrina. Aku mohon, raih tanganku sekarang, dan ikut denganku," ujarnya.
Aku menghentikan langkah dan memutar balik tubuh untuk menghadapnya, "Tinggalkan!" Tegasku.
"Apa yang harus aku tinggalkan, Sabrina?" Tanyanya.
"Sisi gelapmu! Selamat tinggal, Aldo, mungkin kita akan bertemu di sisi lain," aku berlari sekuat yang aku bisa setelah itu.
Sesampainya di rumah, Chika langsung menghampiriku yang sejak tadi menungguku kembali di teras rumah. Napasku tidak beraturan karena sehabis berlari tadi.
"Kakak, nggak apa-apa?" Tanya Chika khawatir.
"Aku nggak apa-apa. Revan sama Juna sudah balik?" Tanyaku sambil mengatur napas.
"Untungnya belum, Kak. Aku takut kakak diomelin sama, Kak Revan, kalau keluar sendiri," ujarnya sambil membantuku berjalan.
"Terima kasih, Chika," Sahutku. Chika terlihat sangat paham dengan situasi dan kondisiku saat ini. "Aww!!" Aku merintih kesakitan sambil memegang perutku saat baru saja duduk di sofa ruang tamu.
"Ya ampun, Kak! Kakak keluar darah banyak, Kak! Ya, Allah!" Chika histeris.
Chika terlihat bergegas menelepon Revan memberitahu keadaanku saat ini. Setelah menelepon, Chika bergegas mengambilkanku baskom yang berisi air beserta kain untuk membersihkan darah yang mengalir. Rasa takut, panik, dan juga rasa sakit menjadi satu saat ini. Aku sangat takut jika harus kehilangan anakku.
**************************************************************************************
Terima kasih sudah membaca cerita SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS. Jangan lupa vote dan berikan komentarnya ya, karena support kalian sangatlah berharga. Tunggu kelanjutan cerita SABRINA, hanya di wattpad. See you on the next part!
Warm Regards,
INDRI HELWINA
![](https://img.wattpad.com/cover/197388518-288-k403954.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SABRINA: LOVE IS A CURSE [TERBIT] | CIRCLE OF DARKNESS [AKAN TERBIT]
TerrorSipnosis: CERITA 1 Judul: Sabrina (Love is a curse) SUDAH TERBIT DI PENERBIT MENGUBAH SEMESTA @mengubahsemesta Genre: Horror, Romance, Fantasy, Mystery Semua orang pasti ingin mempunyai teman di masa hidupnya, termasuk Sabrina. Misel adalah teman pa...