Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (QS. Al-Luqman ayat 14)
—SELAMAT MEMBACA—
*
*
*BAGIAN 5
Langit semakin gelap, matahari kini akan berganti menjadi bulan. Suara shawalat dari masjid mulai terdengar. Sementara salah satu manusia sedang mengurung diri di kamarnya, dia meringuk dan menyelimuti tubuhnya. Kepalanya sakit karena efek jahitan dipelipisnya.
Sebelum orang tuanya di panggil untuk menghadap ke kesiswaan, Wafa terlebih dulu dibawa ke puskesmas terdekat karena untuk mengobati lukanya. Wafa mendapatkan empat jahitan dipelipisnya.
Dia sedikit merasa bersalah karena tidak menyapa dan menghubungi sahabatnya—Aldan. Dia masih kesal dengan apa yang dikatakan Aldan bahwa Wisnu hendak membantunya. Sepertinya Wisnu mengancam sahabatnya itu.
"Bunda lama banget sih pulangnya," gumam Wafa membuka matanya dan mengubah posisinya menjadi terlentang.
Wafa menatap langit-langit kamarnya dengan lampu padam. Wafa memang tidur dengan lampu yang harus mati. Menurutnya jika tidur dalam keadaan lampu menyala membuatnya merasa panas.
"Gue, Wisnu, Aldan kena skors. Hadeh... gara-gara gue sih, malah bales kelakuan tikus solokan lagi."
Suara gerbang terbuka membuat Wafa sedikit tersenyum. Sudah dipastikan jika itu adalah ayah dan bundanya. Wafa merasa senang karena dia bisa mengeluh kepada bunda Zena atas apa yang terjadi kepadanya.
Wafa segera turun dari kasurnya kemudian menghampiri sang bunda yang sudah duduk di ruang keluarga. Terlihat wajah lelah bundanya yang seharian mengajar. Perlu kalian ketahui, bunda Zena adalah seorang dosen di salah satu Universitas Negeri.
"Bunda..." Wafa berjalan lesu dengan wajah melas. Terdapat beberapa bekas luka dibagian wajahnya.
"Kenapa kesayangan bunda, hm?"
Wafa memeluk bundanya dari samping, dia juga menyandarkan kepalanya pada bahu bunda. Tangannya dia lingkarnya pada perut rata sosok yang sangat dia cinta.
"Bunda...., pelipis adek sakit tadi dijait."
Tangan bunda mengusap rambut yang masih belum di potong itu dengan lembut. "Aduh, kasian banget anak bunda satu ini."
Air mata Wafa menetes karena sentuhan sang bunda. "Sakit bunda...," rengeknya.
"Iya, suruh siapa lagian berantem, hm?"
Wafa merengek seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan. "Adek..., kan..., belain Aldan..., bun," jawabnya sedikit tersendat.
"Waktu dijahit nangis gak dia, Yah?" tanya bunda pada suaminya yang baru saja masuk.
"Enggak katanya bun, waktu berantem ditonjok, dipukul, dibenturin aja gak nangis," balas ayahnya.
Ayah tidak menghampiri karena sebentar lagi adzan magrib. Ayah harus melaksanakan salat berjamaah di masjid.
"Adek, mau ikut salat di masjid gak?" tanya ayahnya, sementara itu Wafa menggelengkan kepalanya.
"Nggak apa-apa, kan, bun? Kepala adek pusing," balasnya melas. Memang benar mungkin efek benturan.
"Ya udah," jawab ayahnya lagi.
Wafa mengusap air matanya dan mengelap ingusnya menggunakan jilbab yang bundanya kenakan.