BAGIAN 7

9.2K 767 191
                                    

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Surah at-Taubah [9]: 16).

-SELAMAT MEMBACA-

*
*
*

BAGIAN 7

"Adek, pelipisnya udah gak sakit?" tanya bunda Zena. Perempuan dengan gamis hitam dan jilbab abu-abu itu tengah duduk di ruang tengah vila bersama Wafa.

Sementara itu, anggota keluarga yang lain sedang membakar daging, lauk dan lainnya di luar.

"Udah nggak kok, bun. Kata aa lukanya juga udah kering," balas Wafa. Cowok itu sedang memainkan ponselnya. Dia sedang membalas pesan dari Aldan.

"Yaudah atuh, bantuin sana di luar bakar-bakar."

Wafa melotot sedikit terkejut lalu dia menaruh ponselnya asal, "Aduh, bun, masih sakit dikit. Kepalanya juga pusing." Wafa berlaga memegang kepalanya.

Bunda menghela napasnya, lalu menghembuskan dengan sedikit kasar. Perempuan itu kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri Wafa yang berpura-pura meringis kesakitan.

"Bohong, ya," kata bunda berkacak pinggang di samping Wafa.

"Adek gak bohong, bunda," jawab Wafa, masih memegangi kepalanya.

"Dari tadi lari-larian kok di pinggir pantai," ujar bunda. Bunda melihat Wafa berlarian di bibir pantai, sambil tertawa riang seperti tidak merasa kesakitan.

Wafa menelan ludahnya dengan kasar.

"Ayo bohong."

Bunda hendak mengelitiki tubuh Wafa, tetapi cowok itu segera bangkit dari rebahannya. "Iya bunda, adek bohong. Udah gak terlalu sakit kok ini."

Wafa kini menatap wajah sang bunda. Mengapa bundanya terlihat sangat cantik setiap harinya. Wafa jadi ingin memiliki istri seperti sang bunda. Wafa tersenyum tipis, lalu dia mendekap bunda dengan penuh kasih sayang.

"Adek sayang banget sama bunda. Hidup lebih lama lagi, ya. Temenin adek berproses, bun." Air mata menumpuk di pelupuk matanya yang membuat pandangannya memburam.

Hingga detik berikutnya... dia menangis.

Bunda membalas pelukan Wafa dan mengusap punggung putranya. "Bunda juga sayang banget sama adek sama anak-anak bunda yang lain juga. Bunda sayang semuanya. Bunda bakalan nemenin adek. Kalo memang bunda harus pergi lebih dulu, adek harus jadi manusia yang kuat. InsyaAllah nanti kita bisa berkumpul lagi di keabadian."

"Bunda jangan bicara gitu adek makin sedih."

Bunda tersenyum simpul lalu melepaskan pelukannya untuk menghapus air mata di pipi Wafa.

"Udah sana bantuin bakar-bakar. Bunda mau masak air dulu di dapur."

Wafa mengangguk, lalu berjalan perlahan menuju halaman. Namun di depan pintu Ghaza terlihat hendak masuk membawa ikan yang sudah matang. Ghaza melihat mata adiknya yang sembab dan hidung yang sedikit memerah.

"Abis nangis? Kenapa?" tanya Ghaza dengan ekspresi datarnya.

"Nggak."

"Kalo ada apa-apa cerita."

"Orang gak ada apa-apa, kok." Wafa memberitahu.

Ghaza mengangguk singkat kemudian melanjutkan langkahnya, begitupun dengan Wafa.

WELCOME HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang