SELAMAT MEMBACA
*
*
*Akhir dari perjalanan kehidupan adalah kembali kepada Sang Pencipta. Pada dasarnya, dunia ini hanya bersifat sementara dan semuanya hanya titipan. Seseorang pernah berkata, kalau di dunia ini kita hanya menunggu waktu salat.
Jenazah Aldan dikebumikan di samping pusara ayah dan ibunya. Banyak dari teman, keluarga terdekat yang merasa kehilangan. Termasuk sahabat karib Aldan—Wafa. Perubahan Wafa jelas terlihat apalagi kejadian itu tepat sekali di hadapannya. Cowok itu terlihat sering melamun, terkadang air matanya menetes tanpa permisi.
Hari ketiga setelah kejadian itu siswa dan siswi kembali beraktivitas seperti biasa, karena beberapa hari lalu sempat diliburkan untuk menghormati para korban. Di hari ketiga ini, Wafa tidak pergi ke sekolah karena kondisi tubuhnya yang tidak baik. Kantung matanya terlihat sedikit besar dan menghitam karena dia hanya tidur 2-3 jam saja selama beberapa hari terakhir. Rasa kehilangan tentunya masih Wafa rasakan.
Bunda yang begitu khawatir terhadap kondisi putra ketiganya sampai-sampai tidak pergi mengajar ke kampus. Bunda yang tengah hamil itu menemani Wafa, bahkan beliau tidur di kamar Wafa.
Suara pintu terbuka bersamaan dengan langkah kaki tidak mengubah posisi Wafa yang tertidur seraya menatap tembok di depannya.
"Adek, makan dulu, yuk. Bunda masak bubur ayam, nih," ucap sang bunda. Bunda Zena menyimpan nampan yang penuh dengan makanan.
Wafa masih diam.
Bunda menghembuskan napas panjang, kemudian duduk dikasur dan menyentuh pundak Wafa.
"Nak, makan yah, biar cepet sehat. Bunda gak bisa liat kamu kayak gini, bunda mau kamu yang ceria, yang banyak ketawa, yang jahil. Bunda tau rasanya ditinggal sama seseorang, rasanya sakit banget. Tapi kehidupan masih terus berjalan kita gak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, Sayang," tutur bunda Zena dengan amat sangat lembut.
Wafa memejamkan matanya sejenak sebelum dia bangun dari tidurnya dan bersandar pada dinding agar bisa menghadap sang bunda. Bunda tersenyum bahagia karena putranya mau mendengarkannya setelah beberapa hari terakhir.
Pandangan Wafa kosong menghadap depan, kakinya yang tertutup selimut ia luruskan.
"Makan dulu, ya."
Wafa mengangguk dan menerima suapan dari bunda. Bunda tersenyum lagi ketika Wafa menghabiskan bubur ayam buatannya. Tidak lupa setelah ini Wafa harus meminum obat atas resep yang diberikan saudara laki-lakinya, Alfariz.
"Adek mau mandi? Bunda mandiin, yah? Udah dua hari gak mandi, biar seger. Bunda siapin air angetnya."
Lagi-lagi Wafa hanya mengangguk. Jika saja Aldan melihat ia pasti akan tertawa, karena wajah dan rambut Wafa yang kucel.
****
"Bentar, yah, bunda panggilin Wafa dulu."
"Gak apa-apa, bun, kasian dia masih sakit."
"Kalian, kan, ke sini untuk jenguk Wafa jadi harus ketemu dong sama dia." Bunda tersenyum lalu menaiki anak tangga untuk menuju kamar Wafa.
Cowok dengan hoodie hitam serta sarung itu mengikuti setiap langkah kaki sang bunda. Sampai di ruang tamu ia tersenyum kepada Sabrina dan Zea yang memang sengaja datang ke rumah Wafa untuk menjenguk cowok itu.
Wafa duduk di samping bunda Zena menghadap kedua gadis itu.
"Gimana, Fa, udah mendingan?" tanya Sabrina.