Orang bilang, tak ada orang tua yang membenci anaknya, bukan? Orang tua akan menerima apapun keadaan anaknya. Tapi, Naka tidak berpikir demikian.
Sedari kecil, Naka tinggal bersama om Arsen. Bukan. Kalian salah kalau mengira orang tua Naka telah meninggal. Mereka masih utuh, alhamdulillah sehat.
Selama sepuluh tahun hidupnya, Om Arsen tak menutupi apapun perihal alasan mengapa Naka harus tinggal bersamanya. Katanya, karena dulu Papa dan Mama sedang kesulitan biaya, maka Naka tinggal bersama Arsen.
Alasan mengapa Mama dan Papa Naka membiarkan Naka tinggal bersama Arsen yang sangat tidak masuk akal—begitu menurut Arsen. Untuk itu, Arsen tak memberi tahu cerita lengkapnya. Lagian, Naka masih terlalu kecil untuk bisa menggunakan logikanya. Mana ada anak umur 16 tahun yang 'dititipkan' seorang bayi hanya karena orang tuanya kekuarangan biaya? Kalau ada pun, mungkin harusnya dititipkan ke konglomerat, kan?
***
Arsen Darmawangsa tak pernah mengira akan menjadi seorang wali ketika ia baru duduk di kelas 10 SMA. Emosinya membuncah ketika mendengar perkataan sang Abang—Harsa yang dengan teganya 'membuang' salah satu anak kembar yang dilahirkan istrinya.
Arsen ingat betul, sepuluh tahun lalu. Selepas pulang sekolah, Arsen langsung menuju tempat kakak iparnya melakukan persalinan, bahkan seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya. Arsen tentu senang karena ia akan segera mendapatkan keponakan laki-laki. Kembar pula.
Namun, harapan akan adanya kebahagiaan dan kehangatan seolah sirna. Setelah salah satu bayi kembar itu di vonis memiliki penyakit kelainan darah. Hemofilia. Kondisi medis dimana darah sukar membeku.
"Apa, Dok? Nggak mungkin! Anak saya waktu di cek sehat terus! Kenapa tiba-tiba bisa begini!" Harsa protes pada dokter.
"Maaf, Pak Harsa! USG selama masa kehamilan Bu Maya ternyata tak mendeteksi adanya kelainan darah pada salah satu bayinya!" jelas sang dokter. Harsa marah. Ia berteriak.
Arsen yang saat itu masih belum terlalu banyak mengerti, hanya mengekor sang Abang yang memasuki ruang rawat sang istri sambil marah.
"Mas, anak kita!" Maya menangis, penampilannya begitu kacau. "Aku nggak mau, Mas! Aku nggak mau anak aku sakit!"
"Kak Maya apaan, sih! Jangan ngomong gini!" Arsen tak terima dengan ucapan kakak iparnya.
"Aku nggak mau rawat dia, Mas! Aku nggak mau!" teriak Maya histeris. "Aku rawat Dika aja!"
Arsen melongo, tentu saja. Gila! Orang-orang gila! Harsa dengan cepat mengambil satu bayi yang ukuran tubuhnya jauh lebih kecil dari saudaranya.
"Bang! Mau dibawa kemana bayinya?!" cegah Arsen.
"Panti asuhan!" jawab Harga cepat.
"Abang nggak waras, ya? Itu anak abang sendiri!"
"Gue nggak mau urus anak penyakitan!" Harsa bergegas keluar. Arsen kemudian mengejar langkah sang Abang.
"Bang! Mau gimana pun, Naka juga anak lo! Darah daging lo!"
"Lo tahu sendiri, perusahaan gue lagi nggak stabil! Gimana jadinya kalau gue harus keluar biaya lebih buat biaya pengobatan dia, Sen?" sengit Harsa. "Lo nggak paham, karena lo belum berkeluarga!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GERHANA (✔️)
Teen Fiction~Blurb Aku tak mengenal kata berharga. Bahagia adalah sekitarku walaupun aku bukan bagiannya. Semesta terlalu luas bagiku. Ya, benar. Aku terbiasa dengan keramaian. Walaupun ramai adalah kata lain dari menghakimi dalam kamusku. Cara pandang dunia d...