Mentari Pagi

620 33 15
                                    

"Yasa, abang boleh masuk? Gue mau ngomong!" ucap Dika di depan kamar Yasa. Yasa dengan segera membuka pintu kamarnya dan membiarkan kakak sulungnya masuk.

"Langsung aja, gue mau ngomongin soal Naka!" Dika duduk di karpet bersama Yasa dan langsung menyampaikan inti pembicaraan.

"Bang Naka kenapa?" tanya Yasa penasaran membuat Dika terdiam. "Bang! Kok malah diem, sih!? Ada apa sama Bang Naka?"

"Lo tahu? Papanya Zie adalah Dokter yang nanganin Naka selama ini," Jelas Dika.

"Serius, bang? Terus kenapa?"

"Bukan itu poinnya, Yas!" Dika menghembuskan nafasnya kasar sembari memberi jeda pada kalimatnya. "Om Nevan bilang, hemofilia yang di derita Naka makin parah."

Yasa terdiam berusaha mencerna kenyataan. Ingin rasanya Yasa protes, kenapa semesta seolah tak membiarkan kakak kesayangannya bernafas lega?

"Terus gimana, Bang?" Yasa bertanya sambil menatap Dika dengan tatapan sendu.

"Nggak ada yang bisa dilakuin selain jagain Naka biar nggak luka dan pastiin dia minum obatnya. Lo tahu sendiri, kan? Hemofilia itu penyakit genetik yang nggak bisa disembuhin!" jelas Dika membuat Yasa terdiam.

"Gue mohon sama lo, Yas! Selama ini Naka yang telaten jagain lo! Sekarang giliran lo buat jagain Naka juga! Kita jagain Naka bareng-bareng!" Dika mengusap bahu Yasa penuh harap. Yasa tentu saja mengangguk mantap mendengar permintaan kakak tertuanya.

"Pasti, bang! Yasa bakal jagain bang Naka! Nggak akan Yasa biarin ada orang yang ngelukain abang Naka!"

***

Naka terdiam di ranjangnya. Tangannya mengusap memar yang muncul di kakinya. Naka heran, kenapa memarnya makin banyak? Selain itu, masih banyak hal lain yang menganggu pikiran Naka.

Kakaknya—Galaksi, sungguh menawan. Daya tariknya sangat tinggi. Dika sangat keren ketika ia berkawan dengan gitar akustik kesayangannya. Sementara itu, Cakrawala—adiknya, selalu ditinggikan oleh sang Papa. Apa yang Yasa mau, langsung dikabulkan oleh Papa. Walaupun begitu, Yasa bukanlah anak yang menuntut banyak hal—terkecuali untuk matcha.

Kalian salah ketika menilai Naka iri dengan kedua saudara kandungnya. Naka hanya berpikir kehadirannya itu...semi transparan. Antara ada dan tiada. Naka memang Gerhana yang datang sesaat saja. Namun Naka tak sadar, bahwa dirinya begitu indah seperti Gerhana itu sendiri.

Naka kemudian mengambil gitar akustik miliknya sendiri—ia beli agar sama dengan milik Dika. Walaupun tak sekeren Dika, tapi Naka juga cukup piawai memainkan alat musik petik itu. Entahlah, ketika memainkannya membuat mood dan pikiran Naka menjadi lebih positif.

Seperti saat ini, Naka tiba-tiba tersenyum karena menyadari besok ia akan berlatih untuk olimpiade. Naka mencintai kegiatannya itu. Bukan hanya kegiatannya, sosok manis yang menjadi rekan satu tim-nya juga tak kalah indah.

Jadi ketika tempo hari Dika curiga soal Naka yang sedang naksir seseorang itu nggak salah. Tapi, Naka masih malu aja buat ngaku ke abangnya.

Ah, perempuan itu lagi! Naka jadi makin tak sabar menanti hari esok!

***

Naka kini sudah duduk di gazebo tempat ia berjanji untuk ketemuan dengan rekan satu tim-nya. Gadis yang matanya indah seperti germelapnya bintang—begitu menurut Naka.

GERHANA (✔️) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang