Bab 06

221 29 2
                                    

Selamat membaca💜
.
.
.
.
.

Gemerlap lampu yang berasal dari ratusan ribu lightstick di Seoul Dome membuat siapa pun yang ada di sana sejenak melupakan berbagai macam keluh kesah dan masalah mereka alami. Ketika musik mulai berdentum, jeritan-jaritan kagum mengudara, dan koreografi dimulai. Rasa lelah yang bersemayam karena tugas sekolah yang menumpuk, tugas kantor terbengkalai, dan juga kekecewaan atas perilaku seseorang akan menguap begitu saja.

Untuk kali pertama, Sara menghadiri konser Yoongi. Sebelum ini, Yoongi memang sudah meminta berkali-kali untuk hadir, tapi karena memang hubungan mereka benar-benar tersembunyi, Yoongi tidak berani meminta tiket cuma-cuma pada pihak pemasaran dan meminta Sara untuk membelinya saja. Pakai uang pinjaman atau apalah, Yoongi bilang pasti ia akan ganti. Namun Sara tetap menolaknya.

Bukannya enggan menyemangati Yoongi secara langsung, toh saat pria itu lelah dan kehabisan baterai, ialah yang jadi pengisi daya paling ampuh. Jadi, ketimbang buang-buang uang untuk melihat sorak-sorak melengking dan berdesak-desakan hanya untuk melihat Yoongi dari dekat, Sara memilih untuk melihat siaran ulang saja dalam unggahan beberapa akun media sosial fanbase Yoongi.

Memakai tanktop lilac seatas pusar dibalut jaket jins dan celana kulot dengan sobekan besar di bagian lutut, Sara berjalan gugup menuju kursi VIP tempat ia menonton. Konser baru akan dimulai setengah jam lagi, dan Seoul Dome sudah padat oleh penggemar.

Berulangkali Sara memeriksa ponsel. Ia sudah mengabari Yoongi sejak satu jam lalu dan pria itu tak kunjung membalas atau pun sekadar membaca pesannya.
Sebenarnya bukan hal aneh. Sara tahu betul seperti apa biasanya persiapan konser Yoongi. Jangankan membalas pesan, pria itu mungkin bahkan tidak sempat untuk mengeluarkan ponsel dari dalam kantung kecil tas ranselnya.

Aku akan sangat bersyukut jika kau mau menjalankan rencana sesuai kesepakatan kita minggu lalu.

Lagi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Tubuh Sara yang sudah menegang sejak menginjakkan kakinya ke dalam halaman stadion bisbol berkubah yang terletak di Gocheok-dong itu kian gemetaran. Kekuatan cintanya pada Yoongi seharusnya tak terkalahkan sekalipun dengan berlembar-lembar won yang disodorkan nyonya Hwan minggu lalu.

Minggu lalu ...

"A-ah ... ponsel ini? Y-ya, ponsel ini Yoongi berikan pada saya, Nyonya."

Wanita paruh baya itu melotot tidak percaya. Sebelah tangan kirinya berkacak pinggang sementara yang kanan menekan dada kuat-kuat. Seolah merasa sesak karena dililit tali tampar besar.

"Ibu, kau baik-baik saja?"

"Ibu?" nyonya Hwan berganti menekan kedua pelipisnya.

"A-a-akh, kepalaku!" keluhnya terdengar sangat nyeri, "kau masih bertanya? Bawa aku ke kamar!"

"O-oh ... ya, baiklah."

Sara memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, secepat kilat memapah ibu Yoongi ke dalam kamar. Serta-merta gugup sebab ia lupa belum memasang seprai baru pada kasur yang sempat basah kuyup oleh keringatnya dengan Yoongi semalam.

"I-ibu ... ba-bagaimana jika di sofa saja untuk sementara? Saya akan memasang seprai baru," tukas Sara sembari mengajak ibu Yoongi untuk berbalik arah. Dengan sangat hati-hati ia membantu wanita itu duduk. Lalu melenggang cepat guna membungkus ranjang yang telanjang itu dengan seprai bersih.

Selagi tangannya berkutat dengan ujung-ujung seprai dan sarung bantal, bola mata Sara tak henti melirik presensi ibu Yoongi yang duduk di luar sana. Sosok yang tak terduga datang mendadak bagai depkolektor, tentu saja itu dapat membuat jantung Sara berdegup sangat kencang. Pikirannya kacau. Itu adalah kesan pertama yang buruk untuk seorang calon menantu.

Hello Mi Casa [M]✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang