Bab 10. Tak Selalu Bahagia (18+)

1K 23 0
                                    

"Sah!"

Air mata Fariz menetes, ia tak mampu membendung air mata ketika ia dihadapkan dengan keadaan yang menyedihkan, kehilangan ibunya dan menikah dengan wanita lain padahal ia sudah membuka diri untuk mencintai istrinya, Dinda.

Alisba, sahabat kecil sekaligus wanita pilihan ibunya. Ia harus menikah dengan Alisba sesuai dengan wasiat dan melangsungkan pernikahan di depan jenazah Laila. Tidak ada harapan di dalam pernikahan ini selain ingin membahagiakan ibunya yang akan meninggalkannya selamanya.

"Fariz sudah memenuhi keinginan ibu, apa ibu bahagia sekarang?" bisik Fariz kembali mendekatkan diri di depan jenazah malaikatnya.

Ia mulai mengusap permukaan wajah Laila yang tampak pucat dan kaku. Air matanya terus saja mengalir deras, ia sungguh lemah dan tidak berdaya.

Ibu, sosok inspirasi sekaligus penyemangat di segala hal. Siapa yang tidak sedih ditinggalkan oleh sang kata yang tidak bisa dideskripsikan? Semua pasti sedih, termasuk Fariz yang notabenenya pria kuat tapi akhirnya rapuh juga jika berhadapan dengan jenazah ibunya.

Malam itu suasana berkabung di rumah pak Burhanuddin hanya dipenuhi isak tangis yang menandakan ibu Laila memiliki banyak kebaikan selama beliau hidup.

Semua orang yang hadir tampak hancur dan terpukul, air mata terus mengalir deras di wajah mereka, suara gemetar dan isak tangis terdengar di seluruh ruangan.

Warna hitam dan abu-abu yang mendominasi dekorasi ruangan semakin membuat suasana menjadi suram. Segalanya terasa begitu hampa dan hening, seolah-olah semua kebahagiaan telah hilang bersama kepergian ibu Laila.

****

Di sisi lain Dinda masih berdiam diri di rumah sakit menanti Fariz yang tak kunjung datang untuk menjemputnya. Dalam keheningan malam, Dinda merintih dan menangis merasakan gejala kankernya yang semakin menyebar menggerogoti organ tubuhnya. Sering kali penyakitnya muncul secara tiba-tiba sehingga membuatnya hampir menyerah.

Dalam perjuangannya melawan penyakit mematikan itu, Dinda belajar untuk mengandalkan kekuatannya. Ia belajar untuk menjaga semangatnya meskipun terkadang merasa kesepian. Ia menemukan harapan dalam kekuatan dalam dirinya untuk terus berjuang.

Ia harus sembuh demi Fariz, meskipun harapannya kurang dari 30%. Bagaimana pun juga ia ingin bahagia bersama Fariz, memiliki rumah tangga yang bahagia dan anak-anak yang menggemaskan. Dari dulu cita-cita Dinda memang sederhana, ia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus keluarga kecilnya.

Apakah bisa terwujud? Sedangkan ia belum tau bahwa suaminya sudah menduakannya di luar sana.

****

Plak

Dini berani menampar wajah Zahid dengan raut wajah memanas. Bola matanya tampak memerah menahan amarah. Ia tak sengaja menemukan pria itu sedang bersama wanita lain di dalam kamar. Sungguh ia merasa terhina melihat kejadian menjijikan itu.

"Pulangkan aku ke rumah ayah-ibuku!" Hardik Dini melotot tajam.

"Ini semua tidak seperti yang kamu lih—"

"Menjijikkan, aku tidak ingin berada di bawah atap yang sama dengan pria kotor seperti kamu!"

"Jangan bodoh, kamu terus menyudutkanku padahal kamu belum mendengarkan semua penjelasannya," balas Zahid dengan otot leher ikut menegang.

"Apa yang aku lihat tadi masih kurang? Kamu bercumbu bersama wanita lain di dalam kamar kita!" Suara Dini sampai bergetar menahan tangis.

Ia tak menyangka pria yang ia nikahi malah bersikap seperti ini. Perasaan kecewa dan kesal menyatu menjadi sebuah amarah yang amat tak terkendali. Dini mulai membuka kopernya lantas mengambil semua pakaian yang menumpuk di dalam lemari.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang