Bab 19. Pertama

677 22 0
                                    

Dinda selalu penasaran dengan sosok lelaki yang selalu dibicarakan oleh ayahnya saat mereka sedang bersantai di ruang keluarga. Kyai Zakaria selalu mengatakan kepada ibunya, lelaki itu berbeda dengan kebanyakan lelaki lain. Dari gestur dan tutur katanya, ayahnya menaruh perhatian lebih padanya. Ayahnya memang mendambakan anak laki-laki, tapi Nyai Fatimah tak mampu memberikannya. Itu lah kenapa ayahnya menganggapnya seperti anak laki-lakinya.

Seusai salat subuh, Kyai Zakaria mengajak Dinda untuk berjalan santai melewati jalan setapak di tengah-tengah sawah. Udara yang segar, suara burung yang berkicau, dan suasana pagi yang cerah menggambarkan perasaan yang menenangkan.

Ayah dan sosok putri tercintanya tampak saling bergandengan sambil berbincang ria. Setiap Minggu, momen ini selalu menjadi momen favorit yang selalu diimpikan oleh semua anak pesantren. Siapa yang tidak takjub? Sosok kyai bersama putrinya selalu bersikap ramah tamah, menyapa dengan suara lembut, dan menanyakan keadaan hari itu.

Sejak kecil Dinda dan Dini memang sudah dituntut untuk menggunakan cadar. Tidak ada paksaan dari kyai Zakaria dan nyai Fatimah, tapi sebagai anak kyai mereka cukup malu jika tidak melaksanakan salah satu sunnah tersebut. Syukurnya seiring berjalannya waktu mereka tetap merasa nyaman menggunakan cadar dan tidak mempersalahkannya.

"Lihatlah pohon itu, nak," gumam Kyai Zakaria sambil menggenggam tangan mungil Dinda, saat itu berumur 17 tahun.

"Pohon yang rimbun berasal dari akar yang kuat," ungkapnya sambil menatap hangat wajah putrinya yang tertutup kain putih.

"Ayah ingin mendengarkan alasan kenapa kamu ingin menikah dengan Fariz?" Tanyanya, mengingat Dinda meminta itu tadi malam.

Setelah menyelesaikan hafalan 30 juz, Dinda diberikan satu permintaan untuk dikabulkan. Ayahnya kaget karena Dinda tiba-tiba meminta hal yang di luar ekspektasinya.

"Sebelumnya Dinda minta maaf kalo permintaan Dinda membuat Ayah kepikiran," ujarnya meminta maaf dengan lembut.

"Ayah tau bukan bagaimana keseharian Dinda di pesantren ini? Dinda tidak pernah bertemu dengan lelaki manapun. Dinda tidak tau sosok laki-laki yang selalu ayah ceritakan di ruang keluarga. Bagaimana kehidupan dan akhlaknya? Tentu hanya Allah dan ayah yang tau," ungkap Dinda mulai bercerita dan ayahnya mendengarkan.

Kyai Zakaria hanya mengangguk kecil, ia sangat tau tentang kepribadian Fariz yang sudah lama tinggal di pesantren sejak berumur 12 tahun.

"Kenapa Dinda ingin menikah dengannya?" Tanya Dinda sedikit pelan berusaha menghirup oksigen lebih dalam.

"Ayah juga pasti tau jawabannya," lanjutnya sambil menatap ayahnya cukup bangga.

"Dinda menginginkan seorang laki-laki yang meneladani akhlak Rasulullah, mendambakan laki-laki yang dicintai oleh ayah yang senantiasa berada di jalan Allah. Dinda mencari sosok imam yang memiliki pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang agama sehingga bisa membimbing Dinda berjalan di muka bumi tanpa ayah dan ibu lagi," jelas Dinda cukup membuat Kyai Zakaria terharu.

"Dari semua cerita ayah, Dinda menyadari satu hal bahwa ayah menyayangi Fariz bukan sebagai murid saja tapi menginginkan lebih dari itu. Dinda ingin ayah bisa bersama Fariz dalam sebuah ikatan darah. Jadi, tolong maklumi keinginan Dinda untuk membahagiakan ayah meskipun dengan permintaan sederhana ini," lanjutnya rendah hati.

Kyai Zakaria tampak terdiam hening, ia tak menyangka jika semua cerita tentang Fariz akan membuat putrinya seperti ini. Tapi, Dinda benar, dia menginginkan salah satu putrinya bisa menikah dengan Fariz agar silaturahmi mereka tidak terputus.

"Ayah membebaskan kalian memilih pasangan sendiri asalkan memenuhi satu syarat, dimana saat ini hanya Fariz yang memiliki itu."

"Apa itu, ayah?"

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang