Kiayi Zakaria mengamati Dinda cukup kecewa. Ia tidak ingin berburuk sangka, tapi berita yang berseliweran di luar sana membuatnya tidak tenang. Ia harus mencari tahu kebenarannya dari putrinya sendiri.
"Apa gunanya jadi Hafizah kalo kamu tidak menjaga sikapmu seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah?"
Jantung Dinda semakin berdetak dua kali lipat. Ia tidak pernah mengecewakan ayahnya sebelumnya. Baru kali ini Dinda mendengarnya berbicara dengan nada yang berat.
"Kamu tau, kan? Kamu adalah anak seorang pendiri pesantren Al-Qur'aniyah. Salah satu perempuan di pesantren ini yang sudah hafal 30 juz Al-Qur'an dan tidak pernah sekalipun melanggar hal-hal yang dilarang agama. Tapi, sekarang apa?" Tekan ayahnya di akhir kalimat.
"Ketika kamu membuat kesalahan yang berkaitan dengan agama, bukan hanya ayah dan kamu yang mendapatkan dampaknya. Tapi, gelar yang ada di dalam diri kamu juga terpengaruh. Orang-orang akan menganggap hal tersebut serius dan mungkin meragukan pandangan serta pengetahuan kamu terkait agama," ujarnya kecewa.
Dinda hanya menunduk, bukan karena merasa malu mendapatkan teguran, melainkan karena ia menyadari bahwa perbuatannya bisa memiliki dampak pada segala hal.
"Selalu perhatikan lingkunganmu dan teman-teman yang kamu pilih. Jangan biarkan pengaruh negatif mengubahmu menjadi seseorang yang melanggar prinsip-prinsip agama. Jika kamu menemui kesulitan atau dilema, selalu cari bantuan kepada mereka yang lebih paham tentang hal tersebut."
Dinda mengangguk singkat, tamparan keras baginya karena dia tidak mempertimbangkan tindakannya sebelum melakukannya.
"Ingatlah bahwa kesalahan adalah bagian dari manusiawi, namun yang penting adalah kemauanmu untuk memperbaiki diri. Jadilah contoh yang baik bagi sesama wanita di sekitarmu dengan menunjukkan akhlak mulia yang akan mempengaruhi dampak positif untuk lingkunganmu."
Dinda hanya terdiam, merenungi semua nasihat berharga yang sebelumnya belum pernah dia dengar.
"Siapa ayah yang dengan sengaja ingin menyakiti anaknya sendiri? Tidak ada kecuali mereka adalah orang-orang yang kurang bijaksana dan tidak memahami pentingnya tanggung jawab sebagai orang tua," jelas ayahnya lantas mengambil rotan panjang di atas meja.
Dinda meneguk saliva takut, biasanya melihat orang-orang mendapatkan hukuman dari rotan, namun kali ini ia yang akan menerimanya.
"Tunjukkan tanganmu, ayah akan menjalankan tugas sebagai orang yang peduli dan menyayangimu secara lahir dan batin," ujarnya yakin.
Tubuh Dinda gemetar ketakutan sambil menunjukkan telapak tangannya yang putih dan mulus. Kiayi Zakaria merasa tidak tega, tetapi rasa sayanglah yang memaksa dirinya untuk melakukan ini.
Plakkk
Satu pukulan rotan akhirnya mendarat di permukaan tangan Dinda. Suara rintihan pun langsung terdengar dari bibir mungilnya. Telapak tangannya memerah, wajahnya tak dapat menyembunyikan raut sakit akibat hukuman yang diterimanya pada sore hari itu.
"Sikap dan tindakanmu harus selalu mencerminkan nilai-nilai agama yang kamu anut. Hormati dirimu sendiri dan jagalah sopan santun dalam segala hal, karena perilakumu adalah cerminan dari keimananmu."
"Iya, ayah," balas Dinda akhirnya bersuara setelah sekian lama masuk di ruangan itu.
"Pergilah dan jangan pernah temui ayah setelah kamu mendapatkan pelajaran dan hikmah yang kamu dapatkan hari ini."
Dinda merasa tersentak, ia mulai berani menatap ayahnya lantas tak bisa berucap selain meneteskan air mata. Apakah kesalahannya begitu besar?
"Ayah tidak ingin mendengar orang-orang membicarakan kamu. Jadi, jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama lagi. Untung saja Fariz sudah jujur memberitahukan ini lebih awal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sujud Terakhir
Teen FictionAdinda tau tentang perasaan yang dipendam oleh suaminya. Pria yang ia nikahi karena perjodohan massal di pesantren ternyata mencintai orang lain yang notabennya adalah saudara kembarnya sendiri. Setiap hari Adinda hanya merasa asing di dekat pria it...