"Dinda, maafkan aku," gumam Fariz dengan wajah memelas.
Ia menggenggam tangan Dinda erat berharap istrinya baik-baik saja. Tapi, Dinda tampak membatu diam, air matanya mengalir deras, dadanya sesak mengetahui suaminya telah menduakannya dengan wanita lain.
"Kenapa tidak memberitahuku?" Gumam Dinda sedih di sela tangisnya.
Fariz segera mendudukkan diri di depan Dinda, memeluk pinggang istrinya erat lalu menangis lirih. Kesalahannya memang tidak bisa dimaafkan, tapi Fariz memohon agar Dinda tetap menerima keadaannya.
"Ini wasiat ibu, Din. Aku tau—"
"Pertanyaanku, kenapa kamu tidak memberitahuku?" Potong Dinda menatap bola mata Fariz dengan lekat.
"Aku takut menyakitimu," gumam Fariz membalas tatapan Dinda dengan sayu.
"Tapi, kamu melakukannya, kamu menyakitiku sekarang," tekan Dinda mulai sesegukan tak tahan.
"Maafkan aku," mohon Fariz menyesali perbuatannya.
"Kamu mengkhianatiku, Fariz."
Suara tangis mereka saling menyahut menandakan keduanya sama-sama saling tersakiti di posisi ini. Fariz begitu takut kehilangan Dinda, begitupun Dinda begitu takut dikhianati suaminya. Tapi, akhirnya semuanya terjadi begitu saja, mengalir seperti air bah.
–––––
"Dinda, kenapa?"
Dinda melirik wajah Fariz yang sedang khawatir padanya. Fariz bahkan mengusap air mata yang mengalir di wajahnya. Ia bersyukur semuanya hanya mimpi, tapi kenapa rasanya begitu nyata?
Dinda tertegun cukup lama, dadanya terasa sesak, air matanya terus saja mengalir deras. Fariz gelisah melihat keadaan istrinya tiba-tiba bangun dalam keadaan menangis.
"Apa yang terjadi? Apa kamu bermimpi buruk?" Tanyanya.
"Aku tidak tahu," balas Dinda menggeleng, bingung dengan mimpinya sendiri.
Fariz menghela napas panjang, ia segera mendekap istrinya erat lantas membisikkan doa untuk menenangkan hati dan pikiran Dinda.
Padahal Fariz tidak tahu, sumber masalah ini berasal dari dirinya. Dinda menyembunyikan mimpinya, karena ajaran Islam memerintahkan 'haram untuk menceritakan mimpi buruk'.
"Semuanya akan baik-baik saja," gumam Fariz menangkup wajah Dinda berusaha meyakinkan.
Dinda menghela napas berat. Ia perlahan mengangguk untuk menyetujui perkataan Fariz. Semuanya akan baik-baik saja, yang membuatnya buruk adalah pikiran kita sendiri.
Fariz menyematkan ciuman romantis di dahi Dinda berharap istrinya tetap tenang di sisinya. Terlihat Dinda mulai lebih nyaman. Ia tak lagi menangis, tapi pikirannya tetap terbayang pada mimpi buruknya.
"TPU?" gumam Dinda melihat plang di depan gerbang.
"Mampir ke rumah ibu," balas Fariz sambil melepaskan seat beltnya lalu beralih melepaskan seat belt Dinda.
Fariz berjalan memutar mobil lalu berdiri di sebelah pintu Dinda, membukakan pintu untuk istrinya lalu menyodorkan tangan untuknya.
"Jalanannya becek, aku akan menggendongmu," jelas Fariz sambil menatap kebingungan di wajah Dinda.
"Aku tidak mempermasalahkan—"
Fariz langsung membopong Dinda, membuat istrinya benar-benar bungkam. Untung saja suasana TPU cukup sepi sehingga tidak ada yang melihat keromantisan mereka. Benar saja, jalanan menuju makam ibu Laila tampak berlumpur. Keputusan Fariz untuk menggendongnya sudah benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sujud Terakhir
Teen FictionAdinda tau tentang perasaan yang dipendam oleh suaminya. Pria yang ia nikahi karena perjodohan massal di pesantren ternyata mencintai orang lain yang notabennya adalah saudara kembarnya sendiri. Setiap hari Adinda hanya merasa asing di dekat pria it...