Flashback off
Fariz mengamati wajah Dinda yang menenangkan, ia tidur sangat nyenyak setelah semalaman bercerita panjang tentang kisah mereka. Sudah hampir terbit fajar tapi Dinda tak kunjung bangun, Fariz bahkan berulangkali sudah memanggilnya tapi dia tetap diam saja.
"Dinda, nanti Allah marah kalo tau bidadarinya masih tidur jam segini," bisik Fariz di telinga Dinda yang tertutup jilbab putih.
Namun, Dinda tetap tidak menyahut. Ia seperti putri tidur yang akan bangun ketika pangeran menciumnya. Fariz mengamati setiap inci wajah Dinda, dari mata hingga berhenti di bibir ranumnya. Ia merasa aneh dan baru sadar ternyata wajah istrinya terlihat sangat pucat.
"Dinda," panggil Fariz mulai khawatir.
"Bukankah istriku tidak pernah bersikap seperti ini? Ayo bangun shalat subuh lalu kita jalan-jalan pagi, kebetulan aku free hari ini," ujar Fariz terlihat antusias membangunkannya.
Tapi Dinda tetap hening seperti gadis yang tidak bernyawa. Fariz semakin cemas ketika melihat darah segar mulai keluar melewati hidung Dinda. Sejenak terjadi keheningan sehingga perlahan ia mengusap darah itu agar tidak jatuh ke selimut.
"Sebentar ya kita bersihkan dulu baru kita pergi ke rumah sakit," gumam Fariz tampak tegar membersihkan darah yang kian mengalir tanpa henti.
Karena darah tak kunjung berhenti, Fariz sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Ia langsung membopong tubuh Dinda yang saat ini sangat rapuh. Ia bahkan tidak bisa merasakan napas istrinya, detak jantungnya benar-benar lenyap, dan darah seolah berhenti mengalir di seluruh tubuhnya. Fariz begitu frustasi hanya karena memikirkannya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nanti saat di rumah sakit.
Mobil Fariz mulai membelah jalan raya dengan kecepatan di atas rata-rata karena istrinya butuh pertolongan pertama. Fariz memegang tangan istrinya, sedangkan tangan lainnya memegang kendali stir. Untung saja jalanan raya masih terbilang sepi pada waktu itu.
Suasana begitu tegang dan dingin, darah segar tak kunjung berhenti sehingga membuat Fariz bertanya-tanya tentang keadaan istrinya. Padahal tadi malam ia dan Dinda masih bisa bercengkrama biasa, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang Fariz tidak ketahui? Kenapa waktu begitu cepat mengubah semuanya?
Begitu sampai rumah sakit, Dinda langsung ditangani beberapa perawat di ruang UGD. Keadaannya sangat kacau, darah membanjiri pakaiannya, dan Fariz tampak mengusap wajahnya sangat frustasi. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan berdiri seperti ini, menatap istrinya yang terbaring rapuh ditusuk jarum suntik, dibantu alat pernafasan, dan siap-siap dipasangkan alat pacu jantung.
Fariz tak kuasa menahan air matanya saat melihat perawat mulai memberikan sayatan di tubuh Dinda. Rambut panjang Dinda tergerai indah, tapi tidak dengan wajahnya yang sudah putih pucat seperti mayat hidup. Perawat begitu gesit memasang alat pacu jantung sehingga akhirnya siap digunakan.
"Lakukan pengukuran tekanan darah dan monitor AED. Kita harus memastikan semua parameter stabil sebelum melakukan stimulasi," ujar dokter semakin membuat Fariz khawatir.
"Tekanan darah 80/50 dan AED menunjukkan aktivitas yang lemah, Dok," jawab perawat yang menangani alat.
"Pasien dalam keadaan kritis. Kita harus mencoba meningkatkan denyut jantungnya secara bertahap. Kita mulai dari energi 120 Joule."
"Baik dok."
Dokter mulai meletakkan paddle di atas dada kanan dan di bawah dada kiri Dinda. Terlihat tubuh Dinda tersentak saat diberikan difibrillator. Detak jantungnya masih sangat lemah, tidak ada respon signifikan dari jantungnya untuk membaik. Dinda tetap diam dalam tidur panjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sujud Terakhir
Teen FictionAdinda tau tentang perasaan yang dipendam oleh suaminya. Pria yang ia nikahi karena perjodohan massal di pesantren ternyata mencintai orang lain yang notabennya adalah saudara kembarnya sendiri. Setiap hari Adinda hanya merasa asing di dekat pria it...