Bab 30. Awal Perceraian

1.8K 30 1
                                    

Flashback off

Fariz tengah duduk di kursi sambil menatap Dinda yang sedang terbaring lemah di atas brankar. Sejak kemarin ia belum pernah siuman. Berulangkali Fariz menyuruhnya bangun tapi Dinda enggan membuka matanya.

Mata Fariz sampai sembab lantaran tidak pernah absen menangisi gadisnya. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis, hanya cara itulah ia mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.

"Aku pergi sebentar ya," gumam Fariz pamit karena ia belum menunaikan shalat isya. Fariz mengecup dahi Dinda lalu menatap wajahnya cukup lama, ia tidak tega meninggalkannya sendirian di sana.

"Dinda kuat kan?" Tanyanya berusaha memberikannya kekuatan.

"Kalo seandainya pergi lebih enak, monggo. Aku gak maksa kamu buat kuat dan menetap di sini," ujarnya mencoba mengikhlaskan.

"Tapi, berjuang dulu ya," bisiknya di sela isak tangisnya.

"Karena aku tau Dinda tidak pernah menyerah," ujarnya.

"Dinda pasti kuat kan?"

Dini dan Zahid yang sedang menunggu di luar tampak sedih melihat keadaan Fariz yang sudah lemah tak berdaya.

"Keluarga di Kediri sudah tau, mas. Semoga doa-doa yang dipanjatkan anak pesantren bisa menguatkan Dinda untuk melewati masa kritisnya."

"Ayah dan ibu gimana?"

"Sedang dalam perjalanan ke sini."

"Syukurlah."

Dini tidak bisa menyembunyikan tangisnya lagi. Ia meletakkan wajahnya di depan dada Zahid lantas mengeluarkan tangisnya cukup deras. Zahid hanya bisa menenangkannya, mendekapnya erat berusaha memberikan kenyamanan untuk istrinya.

"Jangan terus mengingat kata-kata dokter, bukankah tugas kita memang seperti itu? Setelah berusaha maka kita dianjurkan berdoa."

"Tapi, mereka seperti putus asa. Apa penyakit Dinda memang separah itu, mas? Aku tidak mau melihatnya sakit-sakitan seperti ini, aku takut kehilangan Dinda."

"Dokter sudah berusaha, Dini, hanya Allah lah yang bisa menyembuhkannya. Jika kita memaksa, apalagi yang bisa kita lakukan? Sekarang kita hanya bisa berdoa untuk kesehatannya."

Dini semakin menangis deras seolah tidak terima jika saudara kembarnya tidak bisa sembuh dari penyakitnya.

"Fariz, apakah Dinda bisa sembuh?" Tanyanya kini beralih pada Fariz yang baru saja keluar dari kamar Dinda.

Fariz mendadak bungkam, ia juga menanyakan itu. Lalu siapa yang bisa menjawabnya sedangkan dokter saja bilang kalo mereka sudah berusaha semaksimal mungkin.

"InsyaAllah."

Fariz yakin Dinda tidak akan putus asa melawan penyakitnya. Istrinya pasti bisa melewati masa kritis ini.

Aku juga bingung, apakah aku masih bisa melihat wajah istriku besok atau nanti?

Fariz mulai melewati lorong rumah sakit untuk pergi menuju masjid. Langkahnya terlihat berat, ia berusaha kuat hanya untuk kesembuhan istrinya.

Bagaimana mungkin aku menyalahkan Allah, Dinda?

Fariz mengusap air matanya, ia bisa merasakan cintanya juga ikut menyakitinya. Ia tidak mampu tegar melihat kondisi istrinya seperti ini.

****

Kiayi Zakaria dan ibu Fatimah baru tiba di rumah sakit. Keduanya tak bisa berkata-kata selain hanyut dalam keheningan melihat kondisi sang putri yang sedang terlelap dengan bantuan alat rumah sakit di seluruh tubuhnya.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang