Sifat yang berubah

2 0 0
                                    

Jam berputar terus menerus dengan tiap detiknya tidak pernah berhenti. Sekarang sudah memasuki jam pelajaran terakhir tapi belum ada tanda-tanda kemunculan Alina.

Akbar terlihat tenang, tapi sebenarnya lelaki itu sedikit khawatir dengan keadaan kekasihnya. Pesan yang ia kirim beberapa jam lalu belum juga di balas hingga detik ini.

Kemana cewek nakal itu?

Bagaimana keadaannya?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Pertanyaan itu terus berputar di otak Akbar sampai detik ini.

"Akbar, dimana Alina?"

Akbar menonggak, menatap lurus guru berumur yang ada di depan sana. Satu-satunya guru yang ia hormati dan tidak pernah Akbar sepelekan seperti guru-guru yang lain.

Akbar sedikit memberikan senyum tipisnya pada guru tersebut sebelum menjawab pertanyaan awal. "Di UKS, Bu." jawabnya sopan penuh dengan penghormatan.

Bu Darti mengangguk dengan senyum keibuan miliknya. Guru itu mulai melakukan kegitan belajar mengajar tanpa Alina.

FYI. Bu Darti adalah guru matematika dengan status guru paling senior di antara senior. Usianya sudah hampir kepala enam, tapi semangatnya untuk mengajar tidak pernah pudar.

Meninggalkan Akbar yang sedang berusaha fokus dengan cara menulis rumus-rumus yang di terangkan di papan tulis. Kini Septa dan Vivi yang ada di kursi mereka terlihat sedang berbisik satu sama lain.

"Sih Alin kemana, sih? Di WA ga di bales-bales dari tadi." tanya Septa pada Vivi yang duduk persis di sampingnya.

Vivi mendekatkan kepalanya pada telinga Septa. "UKS kali."

"Sakit apa dia? Perasaan tadi gapapa?" Septa kembali bertanya dengan cara berbisik seperti awal.

Sambil menghedikan bahunya, Vivi menjawab. "Mencret kali, kan semalem kita liat dia di kang seblak."

Septa manggut-manggut. "Iya kali, ya." setelah itu dua remaja dengan status teman dekat Alina kembali dengan pulpen dan juga buku mereka. Menulis semua yang ada di papan tulis atas perintah bu Darti.

***

Tidak terasa empat puluh menit berjalan dan bel pulang pun sudah berbunyi. Alina yang mendengar suara nyaring itu spontan membuka mata. Gadis itu melirik sekitar yang masih sama seperti sedia kala, sepi.

Ia bergerak duduk, mengambil ponsel yang sejak pagi ia biarkan di bawah bantal yang ia tiduri. Ada banyak pesan masuk termaksud dari Akbar dan dua temannya.

Alina menyempatkan diri untuk membuka pesan-pesan tersebut dan membalasnya secara cepat. Ia harus kembali ke dalam kelas untuk mengambil tas yang sejak pagi di abaikan.

Baru saja satu kakinya turun, suara pintu terbuka terdengar. Alina tidak bisa melihat apapun karena gorden masih terpasang dengan rapih. Ia hanya bisa melihat siluetnya saja.

Itu, seperti laki-laki.

"Alin..."

Suara khas yang di miliki oleh Akbar terdengar. Bibir Alina tanpa sadar terangkat.

"Yes, Babe?"

Akbar berjalan mendekat pada brankar yang ada di paling pojok dengan gerakan terburu. Di punggungnya, ada dua tas yang masing-masing hanya di sampirkan oleh satu tangannya saja.

Akbar meletakan tas milik Alina di atas brankar, menatap kekasihnya yang tengah duduk dengan pandangan mata ada pada dirinya.

"Kenapa?" tanyanya tanpa ekspresi.

Tragedi Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang