Hati yang Gunda

5 1 0
                                    

Setelah hampir dua jam, Alina dan Abun berdiskusi banyak hal tentang rekaman CCTV yang di temukan oleh mas Divon di tempat sampah rumahnya itu. Akhirnya kedua remaja itu memutuskan untuk pulang.

Di tengah perjalanan, Abun mengatakan lapar dan hal hasil keduanya singgah di sebuah warung makan pinggir jalan dengan menu sate.

Alina memesan sate ayam tanpa nasi sementara Abun memesan sate kambing dengan satu setengah porsi nasi. Kedua remaja itu sibuk dengan makanan mereka masing-masing, melupakan sejenak suatu hal yang baru saja mereka temukan.

Di antara Alina dan Abun, Abunlah yang makan dengan lahap sebab katanya perut lelaki itu belum terkena nasi sama sekali sejak pagi.

Alina memandang Abun yang makan tepat di hadapannya tanpa suara. Gadis itu kehilangan selera makannya entah karena apa yang pasti ini bermula dari rekaman CCTV tidak jelas itu.

"Lo beneran belom makan sama sekali, Bun?" pertanyaan itu spontan terlontarkan oleh Alina ketika melihat cara Abun makan.

Abun menonggak menatap Alina dengan sorot tak berekspresi. "Iya." Abun menyuap nasinya. "Gimana mau makan. Orang nyokap lagi ga ada di rumah, di sekolah tadi gue mau sarapan ga jadi keburu di panggil buat latihan. Terus, tadi pulang sekolah juga sama. Niatnya kan gue ga mau basket dulu, mau nemenin lo langsung pulang sekolah, eh, malah di paksa sama sih Darwin." jelasnya panjang.

Alina geleng kepala. "Segitu sibuknya, ya?" sambil memakan setusuk sate ia kembali bertanya.

"Ya gimana. Namanya juga tuntutan lomba."

"Nanti kalo lo mati, gimana? Gue sama siapa?" pertanyaannya dalam, tapi sorot mata dan wajah Alina kosong tidak ada di Abun.

Abun membuang napas pelan. Meletakan kembali tusuk sate yang masih ada daging kambingnya. Lelaki itu menarik segelas es teh lalu meminumnya. "Gue ga bakal mati cuma gara-gara ga makan sehari, Lin." kembali mengambil sisa satenya. "Lo tenang aja, gue temenin lo terus sampe semua selesai."

"Jadi, kalo semua udah selesai, lo bakalan pergi?"

Abun terkekeh kemudian menggeleng. "Enggak. Gue bakal ada terus buat lo kapanpun lo butuh gue." menelan nasinya. "Ga usah alay lo. Bukan lo banget alay-alayan begini."

Alina terkekeh. Jemarinya mengambil satu tusuk sate yang sudah kosong, memainkanya pada bumbu kacang yang masih sangat banyak. Alina hanya memakan dua tusuk sate dari sepuluh sate yang di sajikan.

Mereka diam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah sejak kapan, Alina jadi sepesimis ini. Padahal awalnya ia begitu optimis dan yakin jika segalanya akan sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Makan, Lin. Mubazir."

Alina menonggak. "Gue takut, Bun." ujar Alina melenceng jauh dari ucapan Abun.

"Kenapa? Apa yang lo takutin?"

"Gue takut semuanya bakalan gagal, gue takut kita ga nemu ke-"

"Ga usah pesimis dulu, Lin. Kita baru aja jalan, kemungkinan gagal juga masih jauh." ujar Abun memotong ucapan Alina.

Alina kembali menghela. Ia mengambil ponselnya yang sejak awal ada di dalam slingbagnya dan dalam keadaan mode getar.

Matanya menemukan sebuah pesan dari Akbar. Dengan cepat ia membalas.

Akbar : Dimana?

Dirmh. Knp?

Alina membalas pesan yang sudah sejak satu jam setengah lalu di kirim oleh Akbar. Setelah membalasnya, gadis itu mematikan ponselnya dan kembali dimasukan kedalam slingbag miliknya.

Tragedi Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang