Gudang Sekolah

2 0 0
                                        

"Gue ga mood bahas ini, Bun. Nanti aja."

Abun terdiam di depan pintu. Ia menatap pungung Alina bingung.

Bukankah kemarin Alina begitu bersemangat? Lalu, hari ini kenapa?

"Lah, tuh bocah kesambet setan mana?" monoloq Abun sendiri.

Jefri yang mendengar gumaan Abun hanya tersenyum tipis. Kasian sekali dengan Abun yang sudah jauh-jauh datang dari kelas IPA 5 yang ada di sisi yang berbeda dari kelas Alina tetapi masih dalam jangkauan lantai yang sama.

Abun akhirnya memilih untuk kembali. Ia pikir Alina hanya sedang mengantuk atau sedang ke datangan tamu. Jadi wajar jika semangatnya sedikit hilang.

Sementara di dalam kelas, Alina kembali duduk dalam diamnya. Ia tidak berkata apapun selain hanya saling pandang dengan Septa dan juga Vivi.

"Ngapain dia, Lin?" Septa bertanya.

"Rahasia." jawab Alina singkat.

"Akbar dari tadi ngeliatin lo aja, Lin." himbau Vivi pada Alina. Jujur saja, sejak awal Jefri memanggil Alina untuk memberitau jika ada Abun yang menunggu di depan, Vivi sudah memantau Akbar secara diam-diam dengan lirikan matanya.

Alina menghembuskan napas. Ia tidak bisa menjawab ucapan Vivi. Ia bener-benar sedang buntuh. Tidak memiliki jalan keluar sama sekali.

"Kalo kalian diem-dieman kaya gini terus, ga akan nemu jalan keluar lho, Lin. Coba lo ngalah deh, Lin. Minta maaf duluan gitu." Septa menyuarakan pendapatnya.

"Jangan. Ga ada harga dirinya sama sekali kalo lo sampe minta maaf duluan." Vivi dengan tegas menolak pendapat Septa.

Sebagai wanita, Vivi adalah orang yang menjunjung tinggi harga dirinya. Ia tidak ingin melihat apa lagi sampai merasakan yang namanya menjatuhkan harga diri. Dan sebagai seorang teman, Vivi mengajarkan Alina untuk menjunjung tinggi harga diri yang sudah di miliki gadis itu sejak masih dalam kandungan.

"Harga diri apaan sih? Lebay banget lo!"

"Eh, Ta. Sih Akbar itu udah maki-maki Alina. Dan lo suruh Alina buat minta maaf duluan? Gila aja lo!" Vivi melirik Alina yang hanya diam.

"Iya bener. Tapi kalo mereka kaya gini terus, ga akan ada jalan keluarnya, Vi. Masing-masing mempertahankan ego dan ga ada yang mau ngalah. Susah."

"Ya gapapa. Resiko Akbar yang ga bisa jaga mulut. Apa-apaan temen gue di maki-maki. Ngasih jajan aja masih pake duit orang tua. Segala ngomong udah di pake. Apa banget!"

"Dari cara Alina ngomong tadi, Akbar itu bukan ngatain atau nuduh Alina udah di pake sama Abun. Akbar itu nanya, Vi. Kalo lo kekeuh begini terus, Alinanya bingung harus gimana."

"Ya ga harus gimana-gimana, lah." Vivi sudah mulai terpancing emosi. Septa dan dirinya memang tidak pernah satu jalan untuk masalah percintaan.

Septa kehabisan kata-kata. Wajahnya sudah memerah menahan emosi. Ia ingin sekali berteriak tetapi sadar jika berteriak hanya akan menambah beban untuk Alina. "Vi, sumpah, ya. Lo kalo begini terus, bisa bikin Alina sama Akbar putus, lho."

Vivi menunjuk dirinya sendiri. "Gue?" menjeda. "Ga ada istilahnya hubungan seseorang putus cuma gara-gara mulut gue." Vivi menatap Alina yang juga sedang menatapnya. "Kalo Alina sampe putus, ya bagus. Berarti dia mempertahankan harga diri yang dia punya. Bukan gara-gara mulut gue."

"Up! Nyerah." Septa mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya ia putar seratus delapan puluh derajat jadi menghadap papan tulis yang penuh dengan tulisan.

Alina di tempat menggusar rambutnya kasar. Ia bingung.

"Mau lo minta maaf duluan atau ga, itu urusan lo. Tapi gue sebagai temen, cuma mau ngasih pendapat. Kalo lo minta maaf duluan, itu artinya lo ngejatuhin harga diri lo sendiri dan lo membenarkan apa yang udah cowo lo bilang ke lo." gadis berkuncir satu itu tersenyum berusaha memberi ketenangan untuk temannya. "Udah, singkirin dulu masalah cintanya. Fokus belajar sebentar lagi ujian kelulusan." akhir kalimatnya ketika melihat seorang guru sudah memasuki kelas.

Tragedi Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang