Septa vs Vivi

4 1 0
                                    

Setelah makan malam, Alina memiPlih duduk di ruang TV atas keinginannya sendiri. Ia duduk diam dengan wajah tanpa ekspresi tidak seperti sebelum-sebelumnya yang nampak ceria.

Alina menatap papanya.

"Papa mau ada kerjaan di luar kota kurang lebih dua minggu," Raka mentap istrinya yang ada di sudut yang berbeda dari Alina. "Papa berangkat sama Wulan. Tapi tenang aja, Ma, Papa bener-bener kerja kok, Papa ga ada maksud lain. Mama boleh utus intel atau sejenisnya kalo Mama ga percaya."

Alina tersenyum tipis.

Sinta menganggu paham. "Wulan sekertaris kamu, kan?"

Raka mengangguk.

"Selagi bener,  ya ga masalah. Mama mah ga repot orangnya." menjeda. "Tapi, kalo Papa ketauan main di belakang Mama, Mama langsung gugat cerai sesuai perjanjian kita sebelum menikah, ya, Pa?"

"Iya-"

"Serem banget ancemannya." ujar Alina memotong ucapan papanya.

"Lho, harus. Kita sebagai cewe ga boleh kalah sama cowo. Kalo kita di sakitin, jangan nangis, langsung ambil tindakan dan semua beres. Urusan rasa sakit itu belakangan karena bakal sembuh seiring berjalannya waktu." Sinta menimpali. Ia berkata sesuai apa yang sudah ia tanam sejak dulu.

Alina hanya mengangguk. Ia tidak mau menjawab lagi sebab sepertinya pembicaraan kedua orang tuanya serius. Sebagai anak, ia harus bisa menempatkan posisi di mana dan kapan ia harus bercanda.

"Yaudah, besok hati-hati, ya, Pa. Alin masuk kamar dulu." ucapnya di angguki oleh Raka.

***

Di kamar. Alina duduk di atas ranjangnya yang empuk. Kamar besar dengan satu ranjang tidur berukuran king size, satu lemari besar dengan tiga pintu, satu meja rias lengkap dengan isi, dua nakas yang di letakan di sisi kanan dan kiri ranjang serta satu meja belajar yang di lengkapi dengan leptop putih miliknya.

Kamar ini pada dasarnya sudah besar, di tambah Alina hanya mengisi kamarnya dengan barang-barang inti saja. Jadi kamar Alina ini terlihat cukup luas.

Ponselnya yang semula ada di atas nakas ia ambil, ia buka dan menemukan pesan dari grup yang di isi oleh dirinya, septa dan juga Vivi. Ada juga pesan dari Abun tapi bukan pesan dari mereka yang Alina tunggu.

Ponsel kembali di letakan di atas nakas. Alina sama sekali tidak membuka pesan-pesan yang masuk dan memilih mengembalikan ponselnya pada posisi semula.

Gadis itu menghela napas cukup kasar dan berat, akhirnya ia beranjak dari ranjangnya, mematikan lampu dan memilih untuk tidur.

***

Pagi hari Alina sudah duduk melamun di depan pos satpam depan rumahnya seperti orang tidak berpendirian. Wajahnya muram, semangatnya pun sedikit turun.

Di tangannya, ada ponsel yang menyala dengan rute jalan yang terpampang jelas. Ya, Alina sedang menunggu ojek onlinenya tiba.

Dalam situasi seperti ini, Alina sangat yakin jika Akbar tidak akan datang menjemputnya. Jangankan menjemput, mengirim pesan saja merupakan tindakan yang tidak mungkin. Jadi dirinya mengambil tindakan yang sudah pasti-pasti saja.

Satu tahun empat bulan bukan waktu yang sebentar. Keduanya sudah saling mengenal bahkan dekat dengan orang tua masing-masing. Dan waktu selama itu tidak mungkin selalu berjalan mulus.

Keduanya sudah sering bertengkar. Memperdebatkan hal yang tidak penting, tapi, untuk masalah ini, Alina benar-benar merasa jika Akbar sudah keterlaluan.

Tragedi Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang