Gue gak berhutang penjelasan sama siapa pun
Kalau pun ada orang lain yang gak memahami keputusan gue, itu gak jadi masalah- Aryan -
Selain merasa lebih bersemangat dalam menjalani hari, keuntungan yang aku dapatkan setelah mendapatkan lampu hijau dari Lala adalah aku lebih bebas mengekspresikan perasaanku padanya.Tidak lagi begitu hati-hati seperti saat kami baru bertemu, kini aku bisa menunjukkan segala perhatian-perhatianku untuknya. Menjadi sangat menyenangkan karena aku bisa memperlakukannya sesuai dengan yang aku inginkan, tanpa khawatir dia akan menjauh — sebab dia tahu bahwa aku memang menyukainya dan amat wajar jika aku memperlakukannya berbeda dari orang lain.
"Boleh gak kalo lo-gue nya diganti aku-kamu?"
Lala yang sedang asyik mengunyah cookies yang aku berikan tadi langsung melotot. Sebuah pertanda bahwa dia tidak menyetujui ide brilian ku yang ingin mengubah nama panggilan di antara kami.
"Iya bercanda ...." lanjutku saat hanya pelototan yang aku dapatkan dari perempuan cantik di depanku. "Namanya juga usaha, maklum lah, La."
Lala meraih segelas air putih yang ada di hadapannya. "Jangan aneh-aneh deh, Bang. Status aja belum jelas udah sok-sokan mau panggil aku kamu."
"Yang bikin status gak jelas kan lo sendiri, La. Diajak pacaran gak mau."
Bukannya tersipu karena aku membahas tentang hubungan — which is sebelum ini aku memang mengajaknya pacaran secara gamblang dan ditolaknya mentah-mentah, kini dia malah mendengkus. "Diem aja deh, Bang. Sebelum lo gue usir dari sini."
Sejujurnya aku ingin menggigit pipinya yang tembem itu. Dia yang sedang marah-marah kelihatan sangat imut dan benar-benar membuatku gemas hingga ingin membawanya pulang. "Iya-iya, maaf." Akhirnya aku memilih mengalah. Sebab masih ingin berlama-lama melihatnya. Ini adalah keputusan terbaik agar aku tidak ditendang keluar dari ruang tamu kosannya ini.
"Liburan semester balik gak, La?"
Tidak terasa aku sudah bertemu kembali dengannya selama enam bulan. Rasanya baru kemaren melihatnya saat ospek, tapi setengah tahun ternyata sudah berlalu.
Aku mengambil napas dan menghembuskannya perlahan. Merasa sedikit menyesal karena sepertinya telah melontarkan pertanyaan yang salah pada calon pacarku ini.
Meski hanya sekilas, aku bisa melihat perubahan ekspresi di wajah Lala. Dia terlihat sedih ketika aku menanyakan apakah ada rencana pulang atau tidak. Sepertinya hubungan dia dan keluarganya masih belum berubah — masih sama seperti yang dahulu.
"Cuma dua minggu kan?" aku mengangguk mengiyakan.
"Kayaknya gak pulang, di sini aja." Lanjutnya kelihatan tidak bersemangat.
Hampir saja aku ingin bertanya kenapa, untungnya otak waras ku berhasil mengenyahkan keinginan itu. "Mau di kos?" dia mengangguk lesu.
"Mau liburan gak?" tiba-tiba aku terpikirkan untuk mengajaknya liburan. Sebuah pemikiran spontan yang tidak tahu terilhami dari mana, yang jelas aku hanya tidak ingin melihatnya bersedih seperti itu.
"Hah?"
"Liburan, La. Daripada libur cuma di kosan, mending liburan kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior
Jugendliteratur"I have crush on you, La!" Aku mengernyit heran. "Maksudnya?" Bukannya tidak faham dengan arti kalimat yang barusan di dilontarkannya, melainkan aku menolak untuk percaya jika apa yang dikatakannya barusan berarti sama dengan arti kalimat yang di ut...