Part 42 • Aryan

551 66 2
                                    

Sometimes we have to think twice to help someone

***

Ada pepatah yang mengatakan bahwa selama masih hidup, maka manusia tak akan benar-benar terhindar dari maslalah. Masalah akan selalu datang, entah kecil atau pun besar. Masalah datang untuk mengingatkan, bahwa sebaik-baiknya manusia dalam merencanakan sesuatu maka akhirnya akan kalah dengan takdir Tuhan.

Tentu, sebagai manusia aku juga tak bisa banyak protes. Aku hanya bisa melihat dengan miris, lalu tersenyum singkat untuk mengurangi rasa sesak yang tinggal di sana. Hidup itu memang tentang ujian, dan bagaimana kita merespon segala ujian itu lah yang membedakan kita dengan manusia yang lain.

"Ketemu dimana jadinya?" tanyaku pada Gara. Kali ini aku sedang duduk di belakang boncengan motornya, jadi harus sedikit mencondongkan tubuh ke depan agar suaraku bisa didengar baik olehnya.

Memang setelah mengobrolkan perihal Kalana yang sempat membuatku gusar, kini topik obrolan kami sudah berpindah ke arah klien. Kebetulan tujuan kami keluar sore ini memang bertemu calon klien, yang meminta untuk dibuatkan video produk dari usaha yang dijalankannya.

"Di Delima," jawabnya merujuk pada sebuah tempat nongkrong yang memang sedang naik daun di daerah ini. Sebuah café kekinian yang instagramable, tetapi dengan menu yang cukup ramah di kantong pelajar seperti kami.

Dari jok belakang, aku mengangguk pelan. Lalu bergumam pelan untuk menunjukkan atensiku padanya. "Hmm," Tidak lanjut menanggapi karena tempat yang dimaksudnya itu sudah terlihat dari tempat kami saat ini.

"Masih muda ya?" dari nama tempat yang baru saja disebutkan Gara itu, aku bisa langsung menarik kesimpulan bahwa calon klien ini pasti umurnya tidak jauh berbeda dari kami. Rasanya tidak mungkin jika sudah cukup berumur, sebab vibes dari tempat muda itu terkesan sangat anak muda sekali.

Gara mengangguk dari balik spion. "Lulus tahun kemarin." Lanjutnya menginfokan. Lalu selanjutnya tidak ada obrolan lagi diantara kami.

"Ayo, Yan!" Ajak Gara setelah aku meletakan helm di atas spion motornya. Kebetulan kami mendapat parkiran yang tidak jauh dari pintu masuk, jadi tidak perlu berjalan jauh hingga sampai di bagian dalam kafe Delima.

"Emang si kliennya udah nyampe?" Aku berjalan mensejajarkan dia. Kelihatan sekali bahwa dia sangat bersemangat - sebuah fenomena yang cukup langka terjadi padanya. Biasanya dia selalu terlihat lesu, kecuali untuk urusan game dan memodusi perempuan. Jadi aku sudah menduga kalau calon klien kami mungkin memenuhi salah satu syarat sebagai movitasinya untuk bersemangat. Dasar bocah!

Sagara menggeleng. "Belum "

Aku mendengkus. "Ya udah sih, santai aja."

Berbanding terbalik dengan Gara, aku justru tidak bersemangat. Firasatku mendadak tidak enak - entah karena apa. Mungkin karena obrolan seputar Lala, atau hal lain yang mungkin bisa terjadi nanti.

"Gue mau makan dulu. Udah kelaperan." Gara memberikan alasan kenapa dia ingin cepat-cepat. Memang siang tadi kami belun makan, karena baru selesai sarapan di jam sebelas siang. Namun aku tahu, pasti tidak hanya itu alasan yang membuatnya seperti ini.

Tanpa banyak respon, aku hanya mengikuti. Berjalan bersebelahan dengannya, dan masuk ke ke dalam Kafe Delima untuk menikmati makan siang menjelang sore ini.

***

Entah semesta merencanakan apa, aku hanya bisa menerima. Saat ini aku hanya tau alasan dibalik firasatku yang mendadak tidak enak, setelah melihat kenyataan tentang siapa yang sebenarnya akan menjadi klien kami. Dasar Gara sialan!

"Anjing emang!" Bukannya kesal aku katai, bocah di depanku ini malah tertawa. Seolah sudah menduga respon yang aku berikan, sebab dia tidak terlihat kaget dan justru kelihatan sebaliknya - menanti ekspresiku setelah mengetahui fakta ini.

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mengatur emosi agar jangan sampai meledak karena dijebak oleh Sagara yang mengaku sebagai sahabat. Kenapa mesti dia sih! Keluhku masih kesal.

Meski sudah pernah aku katakan jika aku amat sangat menyesal telah sempat menjadi laki-laki yang kurang baik (dibaca hobi mendekati banyak wanita yang menarik), rasanya aku tetap tidak senang dengan situasi dimana aku harus bertemu kembali dengan mantan gebetan yang aku ghosting begitu saja.

Aku enggan mengingat betapa brengseknya aku, dan lebih memilih menghindar setelah ucapan permintaan maaf singkat yang aku layangkan sebelum memutuskan untuk fokus mendekati Lala. Aku bahkan selalu berusaha menghindari segala hal yang membuat harus berurusan dengan mereka, tetapi si Sagara ini malah menjadi pelaku yang mendekatkan kami.

"Kenapa nggak bilang kalo yang mau lo bikinin video produk si Claudia?" tanyaku sengit. Masih kesal karena perbuatannya yang sangat tidak tertebak ini. Gue kira dia semangat karena mau ngegebet ceweknya, tapi justru semangat karena pengen liat wajah asem gue! Sialan!

Gara hanya mengendikan bahu. "Lo kan nggak nanya."

"Ya mestinya lo ngasih tau," responku tak mau kalah.

"Ngapain gue harus repot-repot ngasuh tau?"

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas. Toh sudah bisa ditebak, melanjutkan obrolan ini hanya akan membuatku semakin kesal dan membuatnya senang. "Kalo sampe nanti kenapa-kenapa, gue gak mau tau ya." Putusku akhirnya. Nasi sudah menjadi bubur, dan sangat tidak mungkin untuk mengubahnya Kembali lagi menjadi nasi. "Apalagi sampe ngimbas ke Lala, gue bunuh lo, Gar!" Lanjutku menambahkan.

Anyway, bukannya berburuk sangka pada Caludia atau bagaimana, aku hanya berjaga-jaga. Mengingat bahwa Claudia aka mantan gebetan ini memang masih sering mengirimiku DM di Instagram, aku sedikit khawatir bahwa hubungan kerja sama ini akan sedikit rumit. Apalagi jika sampai Lala tau, aku tidak bisa mengambil resiko. Baru saja mendapat bayangan lampu hijau, masa sudah harus merah lagi.

"Semoga juga gak deh, gue juga sebenernya agak khawatir."

"Terus ngapain lo terima?"

Beruntung Claudia bertemu temannya yang sedang duduk di meja yang tidak jauh dari kami. Jadi aku dan Gara masih bisa melanjutkan obrolan, meski kami sama-sama tau bahwa waktunya tinggal beberapa detik lagi.

"Gue udah terlanjur terima DP nya. Kalo gue batalin cuma gara-gara masalah ini, bakal keliatan gak profesional dong."

Aku dan Gara benar-benar diam mendadak. Claudia tiba-tiba sudah berdiri di samping kami begitu saja, membuat kami yang sedang terlibat obrolan sedikit serius hampir jantungan karena kaget.

"Hai Aryan .." Sapanya sembari mengangkat tangan. Bahkan senyumnya juga sangat lebar, seolah pertemuannya denganku memang sudah dia nantikan begitu lama

Aku meringis, tanpa menjawab. Tidak tahu harus merepon seperti apa dengan sapaannya yang mendadak ini. "Gar," aku menoleh ke arah Gara dan mengirimkan signal melalui tatapan mata. Menyuruhnya untuk mengambil alih situasi karena tak mau berinteraksi banyak dengannya.

"Halo, Clau." Untunglah dia cepat peka dengan apa yang aku inginkan. Jika sampai tidak, aku pastikan dia tidak akan Kembali ke kos dengan selamat.

DASAR BOCAH GENDENG!

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang