Part 30 • Kalana

1.9K 224 11
                                    

"Hal yang paling gue sesali setelah bertahun-tahun, La. Harusnya gue bisa, tapi gue nggak punya keberanian buat coba." ujar Bang Aryan sembari menatap lurus ke arahku.


Aku menelan ludah. Tidak tahu harus merespon bagaimana karena semuanya terlalu tiba-tiba. "Keputusan lo udah tepat, Bang. Baik dulu ataupun sekarang, kita nggak bakalan bisa bareng." Responku sembari menunduk. Jujur jika harus menatapnya, aku mungkin tidak akan sanggup untuk menahan air mata.

Sebab meski bertahun-tahun telah berlalu, nyatanya semuanya masih sama seperti dulu. Perasaan yang aku rasakan masih semenyakitkan saat pertama kali kami membahasnya, dan mungkin justru malah semakin sakit. Menyadari dengan betul bahwa waktu sudah berlalu lama, tapi perasaanku padanya masih stuck dan tidak berubah sedikit pun.

Aku melirik sepasang sepatu converse yang terlihat apik di hadapanku. Memusatkan pandangan ke arahnya karena tidak sanggup untuk melihat wajah sang pemilik yang kali ini mungkin juga sedang menatap padaku. "Tapi sejauh apapun lo dorong gue ngejauh, gue nggak bisa, La." Bang Aryan kembali menatapku dengan mata elangnya. "Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, rasa itu nggak berubah sama sekali. Gue sayang lo."

Jleb!
Rasanya seperti dejavu. Apa yang aku rasakan ternyata juga dirasakan olehnya. Kami berdua sama-sama terjebak dengan perasaan, tapi tidak bisa melakukan apapun karena waktu tidak mengizinkannya. Fakta bahwa dia adalah mantan pacar kakakku tidak akan terhapus, dan kenyataan bahwa dia mencintai ku sejak masih berstatus sebagai pacar dari saudara kandungku juga tidak tertampik oleh fakta apapun.

Semuanya menjadi serba salah, tapi aku sendiri tidak tahu dimana sumber kesalahannya. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa dan kenapa, karena jika ditelisik pun rasanya juga tidak akan memberikan apapun.

Aku menghela napas. Setelah sekian lama, pada akhirnya melahirkan sebuah anggapan tentang waktu. Ya benar, waktu! Satu kesimpulan yang akhirnya bisa aku salahkan. Aku memutuskan untuk mengalahkan waktu karena membuat skenario seperti ini.

"Bukan, lebih tepatnya gue cinta sama lo Kalana." Dia kembali melanjutkan perkataannya yang ternyata belum selesai.

Lagi-lagi aku menghela napas. Lalu memberanikan diri untuk mendongak dan menatapnya dengan kedua mata yang mungkin sudah berkaca-kaca. "Gue nggak mau coba sesuatu yang ujungnya udah kelihatan bakalan gagal, Bang." Entah mengapa aku tidak punya keberanian untuk memulai suatu hubungan baru dengannya. Meski kini dia bukan lagi pacar kakakku, rasanya aku tetap tidak bisa melakukannya. Di dalam otakku yang kapasitasnya pas-pasan ini, fakta ini tidak akan pernah terhapus dan sudah sepatutnya aku memang tidak menjalin hubungan dengannya. Dia adalah kakakku, dan aku tidak dibolehkan untuk memiliki hubungan lebih dengannya.

"Nggak ada seorang pun di dunia ini yang tau masa depan, La." Tidak sama dengan beberapa tahun yang lalu, nyatanya Bang Aryan sudah berani mengambil langkah yang berbeda. Dia sudah tidak lagi menyerah dengan keadaan, tapi memberanikan diri untuk memperjuangkan. Sebuah keberanian yang aku sendiri tidak tahu, apakah bisa melakukannya atau tidak.

"Tapi masa depan kita berdua udah terlalu jelas, Bang. Dan gue nggak mau fight buat hal yang ujungnya sia-sia." Ini seperti perdebatan yang tidak ada ujungnya. Di kepalaku hubungan kami seberat cinta beda agama. Mau bagaimana pun kamu berdua memperjuangkannya, rasanya tidak akan mengubah hasil yang ujungnya sudah tergambar jelas.

"Sia-sia, La?" Bang Aryan tersenyum sinis ke arahku. "Picik banget kalo lo ngira hubungan yang bahkan belum di mulai ini bakalan sia-sia."

Deg!
Entah kenapa perkataanya semenusuk itu. Apakah benar aku sepicik yang dikatakannya? Apakah salah jika aku tidak ingin memperjuangkan hal yang nantinya malah akan menyakiti banyak orang?

"Gue tulus sama lo, dan gue juga nggak bakalan semudah itu buat nyerah kalo nantinya hubungan kita ada titik seperti yang lo pikirin sekarang!"

"Bukan gitu, Bang, maksud gue." Aku melirik tangan kanannya yang mengepal erat. Merasa takut sendiri karena ternyata dia bisa seemosi itu karena beberapa kalimat yang aku lontarkan tanpa pikir panjang.

Kulihat Bang Aryan memejamkan matanya sebentar, mengambil napas dalam-dalam untuk meredakan emosi lalu kembali membukanya dan memandang ke arahku. "Lo ngomong soal Karina?" dengan takut-takut aku akhirnya mengangguk. Pasalnya pertimbangan terbesarku sejak dulu juga adalah itu. Tidak mau dicap sebagai adik yang tidak tahu diri karena berpacaran dengan mantan pacar kakaknya sendiri.

"Apa yang lo takutin, La?" dia menghela napas. "Hubungan gue dan dia udah berakhir bertahun-tahun lalu kalo lo lupa."

"Waktu mungkin berlalu, Bang, tapi kenyataan kalo lo adalah mantan pacar kakak gue itu adalah sebuah fakta sampai kapanpun juga," jawabku mengingatkan. Meski mengatakannya begitu berat, aku berusaha sekuat mungkin agar suaraku tidak terdengar parau akibat menahan tangis.

"Apa yang salah dari punya pacar mantan kakak sendiri?"

"Bang!" aku benci di situasi seperti sekarang. Memang benar bahwa tidak ada yang salah dengan punya pacar mantan kakak sendiri. Tapi sebagai anggota masyarakat yang sama-sana menganut budaya ketimuran, harusnya dia tahu betul konsekuensi apa yang nantinya akan kami hadapi jika memaksakan hubungan ini.

"Kalo yang lo khawatirin pandangan orang, lo harus buang jauh-jauh pemikiran itu, La." Dia meraih kedua tanganku yang ada di atas meja dan menggenggamnya. "Sekarang lihat gue," ujarnya yang mau tidak mau aku ikuti. "Kadangkala untuk jadi bahagia, kita memang harus sedikit egois dan tidak menganggap penting pandangan orang lain."

"Kita adalah tuan dari  diri kita sendiri, dan orang lain nggak ada hak sama sekali untuk mengatur apalagi membatasi kebahagiaan kita." Lanjutnya menambahkan.

"Tapi mereka nggak cuma sekedar orang asing, Bang." Aku membantah perkataannya.

Jika orang lain yang membicarakan kami bukanlah orang yang memiliki hubungan khusus denganku, aku mungkin bisa abai seperti yang dikatakannya. Tapi jika yang berkomentar itu adalah keluarga sendiri bagaimana?

"Gue nggak siap buat dapet pandangan buruk dari mama ataupun Kak Karina, Bang."

"Tapi lo siap ngorbanin cinta lo sendiri? lo siap ngorbanin gue? egois banget lo, La!" Responnya telak.

Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa, karena mau bagaimana pun jawabannya akan juga terdengar salah bagi salah satu pihak. Apapun jawaban yang aku berikan bisa dianggap egois, dan tentu aku juga tidak siap untuk mendapatkan judge semacam itu.

Bang Aryan menghela napas. Sadar betul bahwa perempuan yang duduk dihadapannya ini tidak bisa menjawab pertanyaan yang dia ajukan. "La..." panggilnya yang membuatku melihatnya. "Lo suka nggak sama gue?" Mataku membulat sempurna. Merasa kaget karena perkataan yang dia lontarkan benar-benar to the point seperti ini.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang