Part 36 • Aryan

681 80 3
                                    

Minggu pagi adalah hari yang cukup penting pagiku. Tidak ada kuliah dan aku bisa bangun lebih siang — tentu saja ini adalah hal wajib yang aku lakukan.

Semalam aku begadang mabar bersama Gara dan teman-teman yang lain. Lalu dilanjutkan dengan menelpon Lala, yang entah aku menggunakan hokiku seumur hidup atau tidak tapi teleponku di pagi buta itu benar-benar diangkatnya.

Dengan malas aku mengambil ponsel yang berada di sebelah kananku — ya setidaknya aku memang  mengingat bahwa meletakkannya di situ. Meraba-raba untuk memastikan letak pastinya, sebab wajahku masih ku tenggelamkan di atas guling.

Aku mengetuk layar ponsel. Memutuskan untuk bangun karena melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Walah, beneran kesiangan gue!!

Aku bangkit dan merapikan tempat tidur. Lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Meski sudah hampir dzuhur, tapi aku harus tetap sholat shubuh bukan?

Selah melipat sajadah dan melepas sarung, aku berdiri sebentar di standing mirror yang ada di kamar. Merapikan sedikit penampilanku yang berantakan, sebelum akhirnya meraih dompet dan kunci motor yang ada di atas meja.

Perutku mulai rewel karena terakhir kali makan adalah kemarin siang. Jadi aku memutuskan untuk menghampiri kamar sebelah dan mengajak si penghuni untuk berburu sarapan bersama.

"Gar!" Aku mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.

Sejak insiden ke gap memalukan waktu itu dia menjadi hobi untuk mengunci pintu kamarnya. Padahal sebelum-sebelumnya dia begitu acuh. Bahkan saat ditinggal pergi sekalipun, dia kadang juga tidak mengunci pintu kamarnya.

"Gar, bangun!!" Kali ini aku menaikkan volume suaraku. Begitu juga dengan gedoran di pintu, aku rasa penghuni sebelah juga bisa mendengarnya. Dan mungkin juga kesal karena pagi-pagi sudah ada orang yang membuat kegaduhan.

"Udah mau dzuhur nih, yok bangun!" Masih belum menyerah, aku berteriak-teriak dari luar pintu kamarnya. Berharap bahwa kali ini si pemilik mendengar, lalu bangkit dari ranjang untuk membukakan pintu.

Tepat di detik-detik terakhir aku ingin menyerah, terdengar suara langkah kaki seseorang dari dalam. Tidak lama setelahnya pintu terbuka, menampilkan wajah acak-acakan khas bangun tidur dari yang punya. Seseorang yang mengaku paling tampan sekosan Rumah Abu — nama yang disematkan anak-anak untuk kosan ini karena seluruh bangunannya berwarna abu-abu.

"Kenapa?" sapanya dengan tidak ramah.

"Cari sarapan yok!" Ajakku to the point.

"Jam berapa emang sekarang?" sesuai dugaan, dia benar-benar baru bangkit dari kasur. Buktinya dia belum tau pukul berapa sekarang.

"Setengah sepuluh," tentu ini hanya dugaan, sebab aku malas mengambil ponsel yang sudah tergeletak apik di dalam kantong celana.

"Bentar, gue cuci muka dulu." Tanpa mempersilahkan aku masuk, dia berbalik. Namun dari sikapnya yang tidak menutup pintu, aku tau bahwa dia mengundangku untuk masuk dan menunggunya bersiap di dalam kamar.

Kulihat Gara mengambil handuk yang dia gantung di dinding, lalu melangkah ke dalam kamar mandi. Sementara aku memilih rebahan di kasur yang tadi ditempatinya, sembari mengambil ponsel dari saku celana dan memainkannya.

Entah sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk bermain ponsel, tiba-tiba saja Gara sudah memanggil. "Yok, Yan!"

Aku menoleh ke arahnya. Menatapnya dari atas ke bawah, lalu menggeleng tidak percaya dengan penampilannya itu. "Lo cuma mau keluar sarapan cakep amat, Gar." Ledekku karena penampilannya sangat jauh berbeda dariku.

Aku masih menggunakan outfit tidur, sementara dia — aku tebak, menggunakan pakaian yang baru diambil dari dalam lemari. Karena bau harum dari laundry masih bisa dideteksi oleh hidungku ini.

"Gue emang selalu cakep, Yan," jawabnya jumawa.

Aku hanya menggeleng. Sudah paham dengan tingkat ke pedeannya yang di luar nalar itu.

"Sebenernya gue ganti karena baju yang tadi udah dua hari," tawaku meledak mendengar penuturannya. Ternyata dia sama sepertiku, bukan rapi karena ingin mencari sarapan tapi karena pakaiannya sudah tidak ganti selama dua kali dua puluh empat jam.

Sialan emang Lo, Gar!

***

"Lo mau warteg apa bubur?" tanyaku pada Gara. Dia duduk manis di boncengan tanpa suara, menandakan bahwa dia pasti sedang sibuk membalas chat dari gebetan-gebetannya itu.

"Apa, Gar?" dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Pasti tidak menangkap pertanyaanku sebelumnya karena sedang fokus dengan hal lain.

"Lo mau sarapan apa?" ulang ku ke dua kali.

"Sabeb deh, ngikut lo aja."

Aku dah Gara sama-sama bukan tipe pemilih terhadap makanan. Apapun kami makan, jadi kami tidak pernah kerepotan ketika menyamakan selera makan. "Warteg aja deh ya." Ajakku yang tentu langsung dia iyakan.

"Yang ujung jalan aja ya, Yan. Gue suka yang di situ." Ujarnya sebelum kembali sibuk dengan ponselnya sendiri.

Aku memarkirkan motor yang tepat berada di halaman warung Tegal ini. Lalu meletakan helm dan berjalan menyusul Gara yang sudah lebih dulu masuk. Memang dia tidak ada rasa setia kawan, membiarkanku parkir sementara dirinya langsung masuk dan memesan makanan.

"Gue nitip ya, samain kaya lo." Aku mengatakan pada Gara bahwa pesananku sama dengannya. Meminta tolong untuk sekalian dipesankan karena aku ingin berjalan ke penjual roti sebelah lebih dulu.

"Lo mau kemana?" dia terlihat heran.

"Beli cookies di sebelah."

Gara menautkan dahi. Pasti heran karena aku bukan tipe yang suka jajan roti-rotian. "Buat sapa?"

"Lala," jawabku cuek. Bahkan tanpa memperdulikan ekspresinya, aku langsung berbalik dan berlalu pergi. Keluar dari warung Tegal ini untuk menuju ke penjual roti di sebelah.

Kebetulan calon pacarku itu orang yang sangat menyukai makanan manis, terutama cookies made in tukang roti sebelah sehingga aku berniat membungkusnya. Selain karena tiba-tiba teringat dia, juga sebagai alasan agar aku bisa datang ke kosannya di hari Minggu seperti ini.

Siapa tau aku sedang beruntung dan dia mau diajak jalan kan? pikirku yang kemudian diikuti dengan kedua sudut bibir tertarik ke samping.

"Cookiesnya lima ya, Teh." aku menbuka ebanking yang ada di ponsel. Berniat untuk membayar menggunakan Qris karena malas untuk menunggu kembalian.

"Iya, dijadiin satu." Responku saat sang penjual menanyakan ingin dijadikan berapa bungkus lima cookies yang ku pesan itu.

Meski Lala tidak akan habis makan lima cookies, aku tetap tidak menguranginya. Aku tidak mau dicap sebagai laki-laki yang pelit sehingga membelikannya lebih dari yang bisa dia makan. Toh jika tidak langsung habis, masih bisa dia simpan untuk dimakan nanti.

"Udah ya, Teh." Ujarku saat beliau memberikan satu bungkus cookies padaku. Aku memberikannya bukti pembayaran, sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih dan kembali ke warteg sebelah untuk menemui Gara.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang