Jangan lupa follow wattpad dan instagram aku yes coochocinoou
Terima kasih!***
Aku mengucek mataku — lagi dan lagi untuk memastikan apakah objek yang ada di sampingku ini asli atau hanya sebuah ilusi semata. Menurut apa yang aku baca, seorang yang sedang mengalami demam memang rentan terhadap halusinasi, sebuah gangguan persepsi yang membuat seseorang mendengar, merasa, mencium, atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi memiliki beberapa jenis yang salah satu diantaranya adalah halusinasi visual. Halusinasi yang melibatkan indra penglihatan dan membuat seseorang yang menderitanya seolah melihat sesuatu, tetapi benda tersebut sebenarnya tidak ada. Halusinasi ini bisa berupa objek, pola visual, manusia, atau bahkan sebuah cahaya. Seperti contohnya seseorang dapat melihat orang lain yang begitu dia rindukan yang sebenarnya tidak berada di ruangan yang sama dengannya. That's why Dilan mengatakan bahwa rindu itu berat. Dan ya, aku juga sekarang setuju dengan pendapatnya yang selama ini aku anggap sebagai bualan semata.
Sekali lagi, aku menajamkan pandangan ke arah objek yang sedari tadi membuatku tidak percaya. Setelah membuka mata beberapa detik lalu aku memang melihat seorang Kalana yang tertidur sembari duduk di samping ranjangku. Sebuah pemandangan yang amat sangat mustahil untuk menjadi sebuah kenyataan.
"Gar!" Aku memanggil pelan Gara yang masih sibuk dengan layar ponselnya.
"Eh, udah bangun lo Yan!" Jawabnya yang langsung ku respon dengan mengisyaratkan padanya agar jangan keras-keras dengan menempelkan jari telunjukku ke mulut. Meski aku tidak yakin Kalana yang ini nyata atau tidak, aku memilih untuk bersikap hati-hati dan berjaga jika-jika dia memanglah Lala yang aku kenal dan nyata.
"Kenapa ada Kalana?" sembari melirik ke arah Kalana, aku berucap sangat pelan agar Gara bisa membaca gerak bibirku.
"Nganterin obat tadi." Gara mengikuti ku untuk berbicara sangat pelan.
Jika Gara mengatakan dia yang mengantar obat, berarti orang yang sedang tertidur ini nyata kan?
Aku memandangnya dengan tajam. Bahkan aku juga melotot saat dia mengangguk dan seolah meyakinkan bahwa apa yang aku lihat itu memang bukan hasil halusinasi visualku saja.
Bagaimana dia bisa berujar begitu santai saat ada seorang perempuan di dalam kamar kosku? pikirku tidak percaya!
Sebenarnya konspirasi apa yang dilakukan oleh seorang Sagara hingga berhasil membuat seorang Kalana datang ke tempat kos ku seperti ini. Benar-benar sulit di percaya sama sekali!
Aku menghela napas.
Fyi, menurut peraturan yang tertulis sebelum aku menempati tempat tinggal ini, sebenarnya perempuan tidak di perbolehkan masuk ke dalam kamar. Tapi entah apa yang dilakukan oleh seorang Sagara yang punya ribuan rencana licik, dia berhasil membawa Kalana kesini bahkan hingga dia bisa tertidur nyenyak seperti di tempatnya sendiri.
Apakah sebagai perempuan dia tidak khawatir sama sekali?
Bagaimana jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan?
Kenapa dia bisa se-ceroboh ini?
Aku mengacak rambutku karena rasa pening di kepala langsung berubah menjadi rasa frustasi.
"Kejutan!" Gara berujar dengan senyum tidak jelas saat aku masih memelototinya.
Aku tidak tahu dia bergerilya seperti apa, yang jelas aku tidak tahu sejak kapan Gara bisa kenal dan dekat dengan Lala hingga berhasil membawanya ke sini. Sepertinya dia diam-diam melakukan pergerakan underground dan terselubung di luar sepengetahuanku.
Aku mengangkat jari manis kananku ke arahnya. Yang lagi-lagi hanya dihadiahinya dengan cengengesan dan kembali menghadap ke arah layar ponselnya.
Aku menyingkap selimut yang entah kenapa bisa terpasang apik menutupi badanku, karena seingetku sebelum tidur tadi, aku memang tidak memakai selimut karena begitu saja langsung merebahkan diri setelah insiden muntah-muntah sehabis makan bubur.
"Gar!" Aku kembali memanggil Gara yang langsung mendongak menatapku di panggilan pertama. Kulihat dahinya mengernyit, tanda membutuhkan kejelasan kenapa aku mengganggunya — lagi yang sedang bermain game.
"Gu e pin da hin ke ran jang, ba ngun nggak ya kira-kira?" Pelan-pelan aku menanyakan pendapatnya apakah memindahkan Lala yang tertidur adalah keputusan yang tepat atau tidak.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Gara justru bangkit dari duduknya dan melangkah ke arahku.
Sembari memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana yang dia kenakan, Gara mengatakan agar dia saja yang mengangkat Lala karena aku yang dikiranya masih lemas.
Secepat kilat aku menampik tangannya yang sudah siap-siap untuk mengangkat Lala. Aku tidak rela jika harus Gara yang mengangkatnya, even hanya dari kursi yang tepat berada di pinggir ranjang ke atas ranjang.
"Gue aja! Gue kuat kok." Entah mendapat keyakinan darimana, aku begitu yakin bahwa tubuhku sudah tidak lemah lagi dan sanggup untuk memindahkannya.
"Udah lo sono balik lagi aja!" Usir ku agar dia kembali ke tempat duduknya yang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior
Fiksi Remaja"I have crush on you, La!" Aku mengernyit heran. "Maksudnya?" Bukannya tidak faham dengan arti kalimat yang barusan di dilontarkannya, melainkan aku menolak untuk percaya jika apa yang dikatakannya barusan berarti sama dengan arti kalimat yang di ut...