Part 39 • Kalana

705 79 5
                                    

Cinta itu penting. Sebab orang yang mencintai akan sangat berhati-hati terhadap sikap dan perbuatannya pada orang yang dicintai

- Kalana -

Sejak kecil aku tidak pernah merasa begitu dicintai. Bukannya tidak bersyukur atau bagaimana, hanya saja karena aku selalu membandingkannya dari perlakuan orang-orang di sekitarku terhadap aku dah Mbak Karina, pikiranku mulai terbentuk dengan persepsi yang seperti itu.

Entah siapa yang bisa aku salahkan. Karena seringkali dibanding-bandingkan, aku selalu mendoktrin diriku untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam segala hal yang aku lakukan. Tidak boleh mengecewakan dan harus bisa dibanggakan.

Namun sayangnya, ada satu hal yang luput dari kesadaranku. Bahwa aku  tidak dilahirkan untuk menjadi orang yang sesempurna itu.

Bagaimana pun kerasnya aku berusaha, semua pencapaian ku akan selalu berada di bawah Mbak Karina — terutama bagi orang tuaku. Dan tentu saja, pencapaian itu juga berada di bawah standar yang diterapkan oleh keluarga besarku.

Memang pada awalnya aku tidak mau mengakui. Aku tidak menyerah. Malah semakin bersemangat dan berusaha keras agar tidak disepelekan. Sampai akhirnya aku sadar, mereka bukannya tidak melihat kerja kerasku. Mereka hanya tidak mau melihatku. Kebayang kan betapa menyedihkannya itu?

Aku mulai memberontak. Berhenti melakukan segala hal yang selama ini diperjuangkan. Toh sebenarnya aku memang tidak terlalu senang melakukannya — sebab yang aku inginkan sebenarnya hanya pengakuan. Atau mungkin apresiasi kecil bahwa aku sudah mencoba berusaha yang terbaik dari semua hal yang aku kerjakan selama ini.

Pada akhirnya aku memilih jalan yang bertolak belakang dari sebelumnya. Sama seperti yang sudah pernah aku sebutkan, aku mulai melakukan semua hal yang berkebalikan dengan yang dilakukan Mbak Karina. Namun untungnya, semua hal yang tak disukainya adalah hal yang aku sukai. Sangat kebetulan sekali!

Ingatanku akan masa lalu berhenti. Tepat saat suara orang yang sedang di pikiran memanggilku yang sedang melamun di depan cermin. "Sebentar, Mbak." Teriakku saat Mbak Karina sudah mengetuk pintu. Memintaku untuk lebih cepat karena dia sudah selesai bersiap.

Bagaimana pun perasaan yang mengganggu pikiranku, aku tetap memilih diam di depan keluarga. Memilih untuk tidak pernah membawa obrolan yang menjadi keresahanku, lalu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa seperti dahulu.

Benar, aku membohongi semua orang - termasuk diriku sendiri. Bahkan karena dalam waktu yang cukup lama, aku sudah terbiasa melakukannya. Kadang-kadang merasa begitu munafik, sehingga aku memutuskan untuk kuliah di luar kota agar setiap hari tidak begitu tercekik.

"Gue tunggu di bawah ya!" Suara Mbak Karina yang memberitahu dimana dia akan menungguku membuatku mempercepat hal yang tadi ingin aku lakukan.

"Iya." Responku cepat.

Kebetulan kamarku dan kamarnya bersebelahan. Jadi saat dia mengetuk pintu tadi, pasti dia baru keluar dari kamarnya sendiri.

Tidak mau menghabiskan waktu bersiap lebih lama lagi,  aku mengakhiri kegiatan bersiap dengan menyapukan lip blam di bibir keringku. Memutuskan untuk tidak memakai pewarna bibir karena agenda keluar kali ini paling hanya berada di lingkungan kompleks saja.

"Ayo, mbak!" Ujarku saat Mbak Karina terlihat sibuk dengan ponselnya tangannya.

Sementara dia mendongak, aku memutuskan untuk menggelung rambutku dan menjemputnya. "Udah, dek?" aku mengangguk.

"Kamu yang di depan ya, Dek. Kasian mbak kamu pasti cape baru pulang," aku langsung menoleh ke arah mama. Yang entah dari mana tiba-tiba muncul di dalam ruang keluarga.

Tidak sadar aku menghela napas, tapi tak ayal akhirnya mengiyakannya juga tanpa pikir panjang. "Iya, Ma."

Sekilas memang tidak ada yang salah dari ucapannya - yang entah dilakukan secara sadar atau tidak. Tapi untuk aku yang sangat terliti dalam hal-hal semacam ini, kalimat 'kasian mbak kamu pasti capek baru pulang' memiliki makna lebih dari sekedar pesan semata.

Rasanya aku ingin menjawab, "Mama kira aku gak cape? aku juga baru pulang, sendiri pula!" Tapi tentu saja, kalimat itu hanya berhenti di tenggorokan tanpa sempat untuk ku utarakan.

"Aku gak papa kok, Ma. Lagian kan aku juga yang ngajakin Kalana keluar," aku benar-benar tidak ingin ada perdebatan lanjutan. Pasalnya aku tidak yakin jika sekarang aku bisa menahan semua unek-unekku sejak dahulu. Makannya sebelum mama merespon dan mbak Karina juga mencoba untuk tidak merepotkanku, aku memilih untuk menarik tangannya dan mempercepat langkah untuk segera keluar rumah.

"Aku gak apa-apa kok, mbak. Yuk cepetan keburu malem." Ujarku sembari berpamitan pada mama yang terlihat ingin mengatakan sesuatu tetapi mengurungkannya.

Selamat lo, Kalana!

***

"Mau yang level berapa, mbak?" setelah mengelilingi jalanan yang tidak begitu jauh dari komplek perumahan kami, aku dan Mbak Karina memutuskan untuk membeli ayam geprek di sebuah kedai yang cukup ramai.

Dulu saat kami berdua masih SMA, tidak jarang aku makan di tempat ini. Selain lokasinya yang dekat dengan sekolah, harganya pun sangat ramah di kantong pelajar. Makanya saat bingung menentukan pilihan apa, aku langsung mengusulkan tempat ini padanya. Hitung-hitung sembari nostalgia kan?

"Jangan pedes-pedes deh," ujarnya tak menyebut level yang pasti. "Lo level berapa?"

"Dua,"

Mbak Karina mengangguk. "Ya udah, samain aja."

Tanpa menjawab, aku hanya mengangguk. Lalu berbalik dan melangkah ke kasir untuk pesan dan juga membayar.

"Kuliah gimana?" ini adalah kalimat pertama yang diajukan Mbak Karina setelah aku duduk beberapa saat.

Aku mendongak, meletakan hp yang tadi sempat aku pegang ke atas meja, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan darinya. "So so, nothing special."

"Masa sih, La? kan udah mau setengah tahu nih," Mbak Karina juga meletakan ponselnya ke atas meja. Sebuah keputusan kecil yang membuatku cukup senang, sebab kebiasaan baik ini seolah menunjukkan bahwa kami saling menghargai obrolan ini.

"Bener, mba. Ya gitu-gitu aja," jawabku lebih dari sebelumnya. "Kuliah pulang main." Jawabku menambahkan.

Seingatku, aku tidak memberitahu Mbak Karina bahwa akhirnya aku datang wawancara dan menjadi anggota hima. Aggota himpunan mahasiswa jurusn komunikasi bagian photografi dan cinematography bersamanya, mantan pacarnya saat masa SMA. Tahan, La. Jangan sampai kelepasan.

Mbak Karina mengangguk-angguk. Lalu kemudian menatapku kembali, tetapi tidak juga mengatakan apapun.

"Kenapa, Mbak?" aku bertanya karena dia terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu.

Jujur aku sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraan kami ini. Dari gelagatnya yang terlihat ragu, aku langsung sadat bahwa pertanyaannya pasti akan menjurus pada hal yang sebenarnya tidak ingin aku bahas.

"Kalau yang Mbak Karina pengen tau aku suka ketemu Bang Aryan apa nggak, jawabannya iya." Tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab, aku kembali melanjutkan.

"Kami satu jurusan mbak, gak mungkin kalau gak pernah ketemu." Apalagi satu hima, satu divisi pula. Tiap minggu kita ketemu.

"Bukan itu maksud gue, dek."

Aku tersenyum, "Ya udah, anggap aja tadi aku cuma ngasih tau." Jawabku tak mau memperpanjang masalah ini.

Belum juga dia menjawab, pesanan kami sudah dibawa pramusaji. Mau tidak mau membuatku dan Mbak Karina menghentikan obrolan yang bahkan belum bisa dikatakan dimulai, sebab pelayanan dari kedainya yanga amat sangat cepat.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang