Part 21 • Aryan

1.7K 255 21
                                    

"Hoek.. hoek..." Aku terus saja memuntahkan isi perut yang hanya berisikan cairan ini. Mengelap keringat pada dahi menggunakan punggung tangan, lalu kembali berjalan menuju ranjang dengan tertatih-tatih dengan berpegangan pada dinding.

"Halo Gar?" aku menyapa Gara lewat panggilan telepon meski sebenarnya dia hanya tinggal di kamar sebelah.

"Kenapa, Yan?" tanyanya di seberang sana.

"Lo lagi di luar ya?" tanyaku karena mendengar beberapa backsound anak-anak yang sedang mengobrol

"Iya, Yan!"

Aku menghembuskan napas karena merasa lega mendengar jawabannya barusan. Itu artinya keputusan menghubunginya lewat sambungan telepon sudah tepat karena dia memang sedang tidak ada di kamar.

"Eh, gue keluar dulu ya bentar. Ada telfon!" Sepertinya Gara sedang memberitahu temannya bahwa dia akan keluar untuk menjawab panggilan karena di tempatnya yang sekarang memang terdengar sangat berisik.

"Yan, masih di sono?"

"Hmm..." Hanya gumaman yang aku berikan untuk menjawab pertanyaan yang dia lontarkan. Kepalaku benar-benar pusing sekarang, dan badanku juga lemes rasanya.

"Lo sakit?" sepertinya dia sudah menyadari bahwa suaraku cukup bindeng dan juga terdengar lesu serta tidak ada gairahnya sama sekali.

"Demam sama pilek!" Jawabku mencoba tidak membuatnya khawatir.

Dari semenjak malam tadi aku memang sudah tidak bisa tidur karena kedinginan. Dan pagi ini bukannya semakin membaik, rasa pening di kepalaku justru semakin menjadi-jadi.

"Sabi nggak nitip obat?" dengan sisa-sisa tenaga, aku meminta tolong padanya untuk membelikanku obat ketika akan pulang.

"Bisa. Paracetamol?" tanyanya yang aku hadiahi dengan gumaman mengiyakan.

"Oke. Gue abis ini langsung balik kok."

"Eh, kalo masih kumpul entaran aja gakpapa..."

"Hahah kaya nggak tau aja lo, Yan. Gue malah seneng karena ada alasan balik duluan."

Aku mendengkus. Merasa heran karena sifatnya yang satu ini yang tidak kunjung juga berubah sedari dulu. Tidak suka hangout dengan banyak orang yang tidak terlalu akrab atau di luar cyrcle-nya.

"Lo udah makan siang belum?"

Aku menggeleng. "Belum."

"Sarapan?" lagi-lagi aku menggeleng. Meski dia tidak melihatnya, gerakan naik turun kepalaku memang sudah secara otomatis aku lakukan.

"Udah sarapan apa belom, Yan?"

"Belom!" Ku dengar Gara di seberang sana berdecak kesal.

"Udah tau sakit malah nggak makan!" Omelnya padaku.

Hidup di tanah perantauan sendirian seperti ini memang agak sedikit menyedihkan jika dalam kondisi sakit semacam ini. Keadaan yang jauh dari orang tua membuat tidak ada yang siap sedia mengurus, namun jika ingin memberitahu pun rasanya juga begitu berat karena hanya akan menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan.

Untunglah aku punya Gara sebagai sahabatku. Meski anaknya agak sedikit slengean dan iseng, tetap saja dia adalah orang pertama yang paling bisa aku repoti di situasi genting semacam ini.

"Nggak usah bawel deh, Gar! Sini cepetan pulang aja bawain gue obat sama makan." Perintahku untuk menghentikan omelannya yang bisa panjang lebar.

"Iye iye..." Jawabnya masih dengan nada kesal.

"Thanks, bro. Gue tutup!" Ucapku sebelum akhirnya berbaring di ranjang dan kembali memejamkan mata untuk sedikit menghalau rasa pening yang lagi-lagi melanda.


***

"Yan, lo yakin nggak mau ke dokter aja?" tanyanya sembari menungguku di pintu toilet karena barusaja muntah.

Aku menggeleng. "Nggak usah, Gar. Bentar lagi juga sembuh kok."

"Paling cuma kecapean jadi butuh istirahat aja!" Terangku padanya.

Aku memang tidak biasanya sakit seperti ini. Daya tahan tubuhku tergolong cukup kuat, sehingga amat sangat jarang bagiku untuk sakit.

"Tapi lo nggak doyan makan gini, Yan. Gue nebaknya lo kena tipes deh!"

"Ayok lah ke rumah sakit aja!" Gara masih saja keukeuh memintaku untuk pergi ke rumah sakit agar segera mendapatkan penanganan yang tepat.

Lagi-lagi aku menggeleng. Lalu berjalan keluar kamar mandi dan menuju ke kamar dengan pelan-palan. Dapat ku rasakan Gara mengikuti ku dari belakang. Mungkin saja sedikit khawatir jika aku tiba-tiba ambruk dan tidak sadarkan diri di sini.

"Apa mau gue hubungin nyokap lo?" tanyanya setelah aku berhasil duduk di tepi ranjang.

Aku menoleh ke arahnya dan mendelik. "Oke-oke, nggak jadi!" Ucapnya setelah menerima pelototan mata dariku. Jika masalah sepele ini sudah sampai di telinga mama, maka akan langsung membesar berkali-kali lipat karena kehebohannya yang luar biasa.

"Atau gue bantu hubungin Lala?" entah mendapat ide gila darimana, Gara tiba-tiba saja menawariku untuk menghubungi Lala.

"Lo jangan gila, Gar!" Kini gantian aku yang memarahinya karena mulai ngawur.

"Lah kenapa, Yan?"

"Siapa tau lo sebenernya sakit karena nahan rindu ama dia kan? lo kan beberapa hari ini nggak ketemu dia." Lanjutnya yang membuatku melemparinya dengan bantal yang ada di sebelahku.

Tidak munafik bahwa aku memang merindukan Lala. Hanya saja sakitku ini sungguhan, dan bukan karena menahan rindu seperti apa yang dikatakannya barusan. "Mana sini obatnya?" aku menjulurkan tanganku pada Gara yang masih berdiri tidak jauh dariku.

Memang tadi dia hanya memberikanku sekantong plastik bubur ayam, dan belum memberikan obat yang aku titipkan padanya. "Bentar, Yan! Belum nyampe." Jawabnya yang membuatku heran.

"Belum nyampe?" beoku untuk memastikan apa yang dia katakan.

"He eh. Gue tadi lupa kalo harus beli obat lebih dulu. Eh, baru sadar pas apoteknya udah kelewatan."

"Jadi gue minta tolong aja akhirnya." Jelasnya dengan enteng.

"Siapa yang lo titipin?" tanyaku penasaran. Pasalnya dia bukan tipe orang yang suka merepotkan seseorang begitu mudah. Jika dia merasa tidak dekat dengan orang tersebut, maka Sagara akan cenderung menghindari permintaan-permintaan tolong semacam ini.

"Adalah orang..." Jawabnya sembari menarik kursi belajarku untuk di duduki.

Dahiku mengernyit heran. "Ojol?" tebakku karena hanya itu satu-satunya yang bisa terpikirkan oleh otakku.

"Bukan.." Responnya acuh karena sepertinya dia sudah mulai bermain game menggunakan smartphonenya.

"Tungguin aja. Palingan bentar lagi anaknya dateng." Lanjutnya lagi.

Aku hanya mengendikkan bahu. Jika dia tidak mau memberitahu, ya sudah. Paling-paling juga salah satu teman atau ojol seperti yang aku pikirkan barusan.

"Ya udah. Gue tidur dulu ya..." Aku memberitahunya bahwa aku akan tidur terlebih dulu sembari menunggu paket obat datang. Lalu tanpa menunggu jawaban darinya, aku memilih berbaring dan memejamkan mata.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang