Part 49 • Aryan

681 88 6
                                    

Jika boleh jujur, pernah suatu kali aku berpikiran tentang perasaanku dengan Kalana. Mengingat hubungan masa lalu kami yang agak rumit, aku merasa bahwa akan membutuhkan perjuangan dan kesabarann extra ketika aku memutuskan untuk memperjuangkan keberadaannya. Namun jika mengingat rasa bahagia yang aku rasakan ketika bersamanya, semuanya akan terasa worthed, sebab pada akhirnya aku sadar bahwa tidak ada perempuan yang lebih berharga selain mama dan dia.

Mungkin Aryan memang fell first, but Kalana fell harder dalam hubungan tanpa arah ini.

Aku menatap langit-langit kamar dan menghela napas kasar. Menunggu dengan gusar pesan balasan dari Kalana yang tak kunjung datang, padahal status WhatsAppnya sedang online. Lo beneran belum siap ngobrol sama gue ya, La?

Berjuang itu pilihan, dan aku memilih untuk menghadapi semua resiko yang mungkin terjadi untuk mendapatkannya. Tentu tidak akan mudah, tetapi kabar baiknya adalah pilihan dia untuk berjuang bersama itulah yang memberiku banyak kekuatan untuk memperjuangkannya. 

Meski dia sering bimbang di tengah jalan, aku tidak akan menyalahkannya. Pun ketika dia tiba-tiba menghindariku seperti ini, itu berarti tugasku untuk lebih banyak sabar dan mengerti. Mau dilihat dari sisi manapun keadaannya memang sulit, jadi aku yang berperan membawanya dalam kesulitan harus mengalah. Memahami kondisinya, juga bersabar atas semua perubahan perilakunya.

Hubungi aku kalo kamu udah ngerasa lebih baik ya, La
I'll always be there for you

Pada akhirnya aku kembali mengirimkan pesan untuknya. Meski rumahnya tidak terlalu jauh dan aku bisa saja langsung ke sana, aku tidak melakukannya. Hubungan dia dan keluarganya tak kalah rumit dengan hubungan kami, dan aku tidak ingin menambah masalah dengan memunculkan wajah di rumah itu. Apalagi dengan keberadaan Karina di sana, tentu kedatanganku akan menimbulkan banyak masalah. Lala mungkin akan semakin disalahkan, atau lebih parahnya dituduh atas banyak hal yang sebenarnya tidak dia lakukan.

Sekali lagi aku menghela napas kasar. Lalu meletakkan ponselku di atas ranjang dan berjalan keluar. Menghirup udara segar untuk menentramkan pikiran, sebelum mencari jalan keluar atas permasalahan asmara yang sedang aku rasakan.

"Lagi ngapain, Ma?" aku duduk di sofa yang tepat berada di sebelah mama. Sembari menyuapkan satu persatu potongan semangka ke dalam mulut, aku memperhatikan mama yang terlihat sibuk dengan jarum di tangan.

"Mama lagi bikin sulaman bunga," sejak dulu wanita yang paling aku cintai ini memang hobi menyulam. Barang apapun yang terlihat polos akan dibuat berbagai macam motif olehnya. Saat kutanya kenapa beliau suka melakukannya, katanya untuk menghilangkan stress setelah menghadapi mahasiswa-mahasiswanya.

"Kamu di rumah mau sampai kapan, Bang?"

Aku mengambil remot dan mengganti chanel TV di hadapan kami. Dibandingkan menikmati sinetron, aku memilih chanel yang sedang menanyangkan film kartun pororo. "Paling dua mingguan, Ma."

"Mau di rumah terus apa ada rencana liburan sama teman-teman?" tanyanya merespon.

Dikenal sebagai anak yang hobi keluyuran, tidak mengherankan jika mama menanyaiku demikian. Aku memang jarang tinggal di rumah ketika liburan, dan lebih memilih untuk mengeksplor alam bersama teman-teman. "Kayaknya mau di rumah aja, cape."

Mama menoleh ke arahku dan mengernyitkan dahi heran, "Tumben." Pasti merasa aneh karena anak laki-lakinya mengatakan ingin di rumah saja, padahal libur cukup lama.

"Pengen quality time sama keluarga, " jawabku ngaco. Tidak terpikirkan alasan lain yang lebih masuk akal.

Mama mendengkus. "Kamu gak ada pacar emang, Bang? kok libur malah mau di rumah aja."

FYI, mama adalah perempuan yang open minded. Sebagai salah satu dosen di kampus swasta di kotaku, beliau memang cukup up to date dengan kehidupan mahasiswa. Makanya tidak heran jika beliau sering membahas topik-topik yang berkaitan dengan anak muda.

Ku lihat mama meletakkan sulaman di tangannya di atas meja, sepertinya ingin memfokuskan diri dengan jawabanku atas pertanyaannya.

"Ma..." Bukannya menjawab, aku malah memanggilnya.

"Kenapa?" seolah tau ada yang ingin aku katakan, beliau memandangku dengan lembut.

"Menurut Mama gimana kalo ada cowok yang suka sama adik mantan pacarnya sendiri?"

Mama terlihat kaget dengan pertanyaan yang aku ajukan. Namun begitu, beliau langsung mengubah ekspresinya dan tersenyum. "Menurut Mama tergantung,"

Aku mengernyitkan dahi heran. "Maksudnya?"

"Kalau dari awal sudah nggak ada hubungan lagi sama mantan, terus suka sama adiknya Mama rasa nggak papa. Nggak ada yang salah sama perasaan suka sama seseorang," masih dengan tatapan pengertiannya, mama kembali berujar. "Tapi kalau sukanya pas masih pacaran, terus diem-diem mau ngedapetin adiknya juga itu namanya cowok gak tau diri."

"Aw!" Tba-tiba mama sudah menjewer kupingku.

"Apa yang udah kamu lakukan di luar sana, Bang?" 

"Ma lepasin dulu, Ma. Sakit banget ini." Aku berusaha agar beliau melepaskanku. "Nanti abang jelasin, tapi dilepas dulu ini. Keburu kuping abang copot dari tempatnya."

Bukannya melepaskan, mama malah menggeplak pahaku. "Kamu ini ya kalo ngomong suka nggak bener," meski begitu, untungnya beliau segera melepaskanku dari cengkeramannya.

"Siapa lagi cewek yang kamu mainin, Bang? Mama heran banget dari dulu gak tobat-tobat."

Aku hanya meringis. Tidak membantah karena track record masalah asmaraku memang sudah sejelek itu di mata beliau. Semua gara-gara beliau memiliki instagram dan sering mmebuat story yang memaksaku untuk merepostnya. Alhasil semua mantan gebetanku menghubunginya untuk cari perhatian dengan calon mama mertua. Namun karena jumlahnya yang agak lumayan, mama dan papa jadi suka menyindirku ketika aku sedang ada di rumah.

Ini dia sisi negatif punya orang tua yang terlalu gaul!

"Cewek mana lagi Bang, yang sekarang kamu mainin?"

Aku menggeleng, "Nggak ada, Ma."

"Jangan bohong!" Tatapan matanya memandangku curiga.

"Beneran, Ma. Sekarang mama udah gak pernah di dm sama akun-akun random kan?"

Mama terdiam, sepertinya sedang mengingat-ingat dan mencari jawaban atas pertanyaan yang aku lontarkan. "Jadi siapa"

"Siapa apanya?" kali ini, justru aku yang dibuat bingung olehnya.

"Siapa perempuan yang buat kamu tobat, Bang? kok nggak dikenalin sama Mama?"

"Orangnya belum mau jadi pacar Abang," jawabku lesu.

"Kamu ditolak?"

Secepat kilat aku menggeleng. Enak saja mengatakan bahwa seorang Aryan ditolak. Aku hanya belum diterima saja oleh Lala, masih proses pendekatan. "Masih proses pendekatan,"

"Adik dari salah satu mantan kamu?" kedua mataku berkedip. Memang wanita dihadapanku ini tau segalanya tentangku. Tanpa aku memberitahu dengan detail, beliau sudah bisa menebak dari pertanyaan yang aku lontarkan.

Aku mengangguk, "Iya, Ma. Adiknya Karina. Mantanku pas masih SMA."

"Karina yang pernah main ke rumah? anak kecil suka kamu ceritain dulu? yang suka kamu beliin mainan itu bukan?" jawab beliau setelah terdiam beberapa saat.

IYA MA, IYA. YANG ITU!

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang