"What? Lo bilang kaya gitu ke Andreas?" Viens mengangguk.
"Dia marah?"
"Di depan gue, dia biasa aja. Gatau kalo pas pulang. Dia agak lama di depan rumah gue."
Viens sedang menceritakan kepada Steve bagaimana mulutnya kemarin telah menusuk perasaan Andreas. Baginya, itu yang terbaik. Agar Andreas tak jadi semena-mena dan tak peduli perasaan perempuan.
"Gue gatau dia orang kaya gitu." Steve menyendokkan satu biji bakso ke dalam mulutnya.
"Dia pasti ada alasan. Tapi alasan apapun itu, nggak bisa membenarkan tindakan dia," ujar Viens.
Setelah bercerita, mereka berdua fokus menikmati makanan masing-masing. Hari ini sungguh membahagiakan Viens. Karena hari ini adalah hari terakhir dimana ia menjalani hukuman.
"Hari ini, Sylvan down lagi."
Steve menghentikan kegiatannya dan mulai fokus pada Viens.
"Setelah dua hari lalu dia mau keluar dari kamar. Hari ini, dia nggak mau keluar lagi."
"Dia masih kepikiran sama hal itu?" Viens mengangguk.
"Dan, bokap gue dateng subuh tadi. Dalam keadaan mabuk, dia teriak-teriak. Kita semua akhirnya bangun dan langsung keluar rumah buat ngecek keadaan. Si brengsek itu bisa masuk ke dalam rumah, karena dia masih nyimpen kunci rumah kita."
"Dia ngucapin sumpah serapah ga penting. Dia bilang kalo dia nyesel banget punya anak kaya gue dan Sylvan dia bilang kalo kita berdua ga seharusnya hidup. Itu ngebuat Sylvan histeris dan mecahin barang di kamar dia. Kami udah berusaha keras ngusir dia dengan bantuan pak Tejo."
Steve masih berada di posisinya. Ia hanya terdiam. Ia memang sempat mengintip tentang kejadian yang terjadi di kediaman milik keluarga Meriana.
Ia juga jelas mendengar bagaimana mantan suami Meriana berteriak seperti orang kesetanan. Steve diam, dan menunggu Viens menceritakannya. Steve rasa, ia tak berhak menanyakan hal pribadi yang mungkin saja Viens belum siap menjawabnya.
Perlahan Steve mengambil tangan Viens. Pergelangannya masih bersih, walaupun masih tersisa bekas di masa lalu.
"Calm down. Belum gue lakuin," sahut Viens yang mengerti apa yang dipikirkan Steve.
"Gue cuma khawatir tentang Sylvan. Dia memang jarang nunjukin gimana perasaan dia. Itu jadi hal tersulit buat gue deketin dia." Viens melanjutkan kalimatnya dan menarik kembali tangannya dari Steve.
Benar. Sylvan sang kakak, terkadang membuatnya bingung. Lelaki itu sangat tertutup. Masalah Sylvan pun Viens tak tahu menahu.
Bukan Viens masa bodo dengan Sylvan. Hanya saja menurut Sylvan, ia takut bila adiknya tahu, membuat sekolahnya terganggu.
Bila Viens tahu alasan Sylvan seperti itu, Viens tak segan memarahinya dan mengatakan tak apa bila Viens tahu.
"Malem ini mau gue temenin? Barangkali sesama cowo, kali ini dia mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
Teen Fiction"I have all of this shit in my mind, can't you imagine that? Thinking about suicidal all of the time! I'm exhausted for being like this! Don't you?" Steve menggeleng dan menatap wajah pucat Viens yang dipenuhi air mata di pipi. Melihat betapa hancur...