Steve menatap nanar kedua tangan Viens. Goresan itu menyebabkan darah keluar dari pembuluhnya.
Tanpa banyak bicara, Steve mengambil tisu yang ada di dalam kamar Viens. Ah, apapun itu untuk menghentikan darah Viens yang masih mengalir!
Ia mengambil beberapa lembar tisu dan kembali mendatangi Viens yang masih berdiri di ambang pintu.
Steve menekan luka Viens. Ia menatap Viens lamat-lamat. Memastikan bahwa Viens merasa sedikit lebih baik dengan kehadirannya.
"Masih sakit?" Viens tak merespon pertanyaan Steve. Ia hanya diam dan meneteskan air matanya.
Merasa Viens tak merespon, akhirnya Steve menuntunnya berjalan ke dalam kamar. Steve mendudukkan Viens di sofa sembari tetap menekan luka Viens. Walau dengan sedikit paksaan tentunya.
"Kali ini lebih gede lukanya, lo yakin ga ngerasain sakit? Kita berhentiin dulu ya darahnya." Viens masih terdiam dan menangis.
Steve yang masih fokus pada tangan Viens, tak sadar bila benda tajam itu masih di dalam genggaman Viens. Viens mengarahkan cutter tersebut ke lehernya sendiri dan menggoresnya dengan brutal hingga tangan Steve yang sedang menahan pendarahan tersebut lepas.
Seketika itu juga, Steve tersadar bila Viens melakukan hal lebih ekstrim karena wajahnya terciprat sedikit darah milik Viens.
"Stop it!" Steve merebut dengan kasar dan melempar cutter yang ada di genggaman Viens ke sembarang arah.
Ia mengambil beberapa lembar tisu lagi untuk menghentikan pendarahan baru yang Viens ciptakan. Tak lupa juga ia tambal sementara dengan plester. Ia mencoba memaksa darah itu berhenti.
Hal yang pasti, setelah ini ia akan membersihkan lebih ekstra saat Viens sudah tenang.
"Argh!" Kini Viens berteriak. Ia menangis dengan kencang.
Steve masih setia di posisinya. Ia masih mencoba menghentikan pendarahan yang ada. Disaat Viens menangis seperti ini, Steve tanpa sadar menitikkan air matanya dan turut menangis bersama Viens.
"Gue ga berguna! Kenapa gue lahir?!" Viens bermonolog dengan dirinya, walau ada Steve di sampingnya, Steve hanya diam. Membiarkan segala kerumitan yang bersangkar di kepala Viens, terurai sedikit demi sedikit.
"Gue pengen mati... gue gamau hidup, Steve..."
Steve memeluk Viens. Badannya turut bergetar seiring turunnya air mata.
"Gue ga berguna... gue jelek... gue ga berharga sama sekali!" Isakan Viens makin keras.
"Gue capek kaya gini terus! Kenapa gue kaya gini, hah? Gue caper ya ke orang-orang?"
"No, you aren't."
"Gue malu... gue malu punya luka kaya gini! Gue juga ga pantes hidup, Steve..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
Teen Fiction"I have all of this shit in my mind, can't you imagine that? Thinking about suicidal all of the time! I'm exhausted for being like this! Don't you?" Steve menggeleng dan menatap wajah pucat Viens yang dipenuhi air mata di pipi. Melihat betapa hancur...