6. Past I

20 7 26
                                    

Sylvan berbaring sembari memandangi foto keluarga di ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sylvan berbaring sembari memandangi foto keluarga di ponselnya. Seorang ibu yang memiliki senyum manis, tampak cantik di foto itu. Apalagi gadis muda yang ada di sampingnya.

Senyum Sylvan turut merekah, namun berhenti karena ia melihat satu sosok yang ia benci.

Ayah.

Rasa benci Sylvan sudah berkembang menjadi dendam. Jika ia bertemu dengan sang ayah, rasa-rasanya ia ingin mencabik habis tubuh lelaki menjengkelkan itu.

Lain hati, lain kenyataan. Pada kenyataannya, setiap lelaki itu ada di hadapannya, Sylvan selalu membeku dan menjadi panik sendiri.

Sylvan membencinya. Tentu saja ia juga membenci dirinya sendiri yang tak bisa melawan. Ia membenci bagaimana tak berdayanya ia terhadap pria brengsek itu.

Lamunannya buyar ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Meriana masuk dengan membawa nakas berisi makan malam Sylvan. Dengan segera, Sylvan menyimpan kembali ponselnya dan tak lupa mematikan daya.

"Makan dulu ya, Sayang." Sylvan menggeleng.

"Mam, Sylvan jelek ya?" Meriana menautkan kedua alisnya.

"Kata siapa? Engga dong, mana ada kaya gitu." Meriana meletakkan makanan tersebut di meja samping tempat tidur Sylvan. Lalu ia duduk di ujung tempat tidur Sylvan.

"Tapi ... Sylvan layak hidup nggak si, Mam?" Mata Sylvan bak berlian. Setetes air matanya pun mendobrak keluar dari asalnya.

"Sylvan, Mamahmu ini bangga sama kamu. Bangga banget kamu bisa hadir di dunia ini. Semua kesalahan kamu di masa lalu itu nggakpapa, Sayang." Meriana mengambil jeda sejenak sembari menatap mata puteranya.

"Nak, kamu tahu engga? Kamu berhak banget lho buat hidup, berhak juga bahagia. Dengerin Mamah ya... Jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri. Mamah tau, nggak masalah kamu sedih. Itu hal wajar untuk seorang manusia."

"Sesekali, nengok ke belakang itu gapapa. Sama sekali nggak masalah kok. Bayangin aja Sylvan naik motor Sylvan banyak liat ke spion nih. Nggak fokus ke depan. Bahaya kan, Nak?" Sylvan terdiam dan mengangguk. Ia kemudian beralih posisi menjadi duduk.

Ia menatap Ibundanya. Seorang wanita yang membesarkannya dengan penuh kesabaran. Kerutan di wajahnya makin terlihat. Wajah yang penuh rasa letih, wajah yang ingin sekali Sylvan lihat sepanjang waktu.

Begitu tenang dan damai bila Ibundanya ada di sampingnya. Sangat melegakan bila Sylvan masih dipedulikan seperti sekarang.

"Apa yang Sylvan rasain sekarang, berbagi yuk sama Mamah. Biar Mamah tahu juga, Sylvan butuh apa untuk tetap bertahan di sisi Mamah. Mau ya?" Meriana berusaha tegar melihat air mata anaknya yang kian menderas.

"Sylvan... capek Mah..." ujar Sylvan terbata-bata.

"It's okay, Sayang. Kamu boleh banget ngerasa capek. Karena itu wajar. Asalkan kamu ingat kapan untuk bangkit lagi."

BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang