"Steve." Steve menoleh ke belakang mendapati Silva yang
sedang tertunduk lesu. Ia ingin mengabaikan Silva dan terus berjalan, namun tampaknya Silva ingin membicarakan hal penting padanya."Gue mau ngomong sebentar." Steve berbalik dan memberi waktu untuk Silva.
"Sebenernya... gue suka sama lo." Steve menaikkan sebelah alisnya.
Hal yang tak ia mengerti adalah pikiran Silva. Disaat Silva sedang huru hara dengan Viens, mengapa sekarang menyatakan perasaan cinta?
"Gue udah males mau minta tolong Viens buat deketin gue sama lo." Silva mendongakkan kepala dan menatap kedua manik mata Steve.
Steve hanya tersenyum remeh.
"Berarti gak salah kalo Viens jauhin lo sekarang." Hanya dengan 8 kata, lalu Steve meninggalkan Silva di lorong sekolah yang sepi.
Steve tak mengira akan mendapat pengakuan cinta dari seorang perempuan. Terlebih lagi ia baru saja dari kamar kecil untuk menuntaskan hajatnya.
Berjalan menyusuri beberapa kelas, hingga akhirnya Steve masuk ke dalam ruangan penuh dengan siswa siswi yang berkutat dengan buku masing-masing.
"Lama bener lu." Viens berbisik.
Steve hanya mengacungkan jari tengahnya tanpa konteks yang jelas. Sedangkan Viens membalasnya dengan mengacungkan jari kelingking. Motifnya sama. Sama-sama tidak jelas.
Ulangan berlangsung dengan khidmat. Bergelut dengan isi otak masing-masing. Meski lambung sudah menyuarakan haknya, tetapi waktu belum mengizinkan.
"Saya baru sadar. Mana si Silva?" Semua murid hanya menggeleng tak tahu.
"Emang dari jam pertama, Pak. Silva udah ga ada di kelas."
"Hmm... mencurigakan. Jio, kamu cari Silva sana." Zio berdiri dari kursinya dengan enggan. Meskipun ia bisa saja mengerjakan ulangan dalam 5 menit. Ia hanya malas bergerak. Penyakit anak muda, biasa.
Zio berkeliling kelas dari ujung ke ujung namun tak menemukan perempuan yang ia cari. Ia mulai bergumam dan menyumpahi setiap pohon yang ada di halaman sekolah.
"Ah bodo amat anjir. Dia yang ngilang, kenapa gue yang repot."
Saat hendak kembali ke dalam kelas, Zio menyipitkan matanya serta menatap ke atas. Mendapati sosok familiar yang sedang berdiri di rooftop sekolah.
Zio bukan tipikal orang yang suka berpikiran aneh-aneh. Tapi kali ini ia cemas. Seperti yang kita tahu, Zio teman Viens. Mungkin ia berpikir sampai sejauh itu.
Dengan gesit ia berlari ke lantai 3 tempat Silva berada. Sempat beberapa kali hampir terjatuh karena langkahnya tidak seimbang.
Nafasnya tak memburu, namun jantungnya berdetak sangat kencang. Atlet memang berbeda ya. Olahraga membuatnya terbiasa dengan hal remeh seperti berlari, begitulah menurutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
Teen Fiction"I have all of this shit in my mind, can't you imagine that? Thinking about suicidal all of the time! I'm exhausted for being like this! Don't you?" Steve menggeleng dan menatap wajah pucat Viens yang dipenuhi air mata di pipi. Melihat betapa hancur...