Aku pernah menemani Delvin bercerita hingga larut malam lewat telepon. Dia seperti magnet yang menarikku untuk ikut berbagi kisah. Aku cukup tertutup untuk bercerita pada orang baru. Delvin termasuk orang baru kala itu, tapi dia begitu memikat membuatku sangat percaya untuk menjadikannya sebuah rumah.
Sahara Aurelia_
~~~
Bagaimana rasanya jika tanganmu digenggam secara sadar oleh temanmu sendiri?
Entah keberanian dari mana tiba-tiba Delvin menurunkan tangan kiri ke bawah meja. Bergerak pelan mendekati tangan gadis di sebelahnya. Perlahan, namun pasti.
Sahara menoleh, kala kulitnya merasa disentuh. Kemudian dia melirik ke bawah meja. Benarkah ini? Delvin menenggelamkan kepala di tangan kanannya. Seolah dia tidak perduli dengan reaksi tubuh gadis di sebelahnya.
Bodoh. Ini sangat bodoh. Sahara merasakan desiran aneh kala tangan mereka bertemu. Rasanya terasa panas, namun ia tidak ingin ini lepas. Tangan mereka benar-benar bertaut. Tidak ada celah sesenti pun. Anehnya, Sahara tidak menolak akan hal itu, seolah ia terima saja.
Dalam hati ia terus mencari tahu rasa desiran aneh dalam dirinya.
Apa ini masih pantas dikatakan teman? Sudahlah nikmati saja. Tidak perlu perdulikan dengan komentar pembaca.
"Delvin, bangun, "bisik Sahara lirih. Dia sempat mengusap lembut rambut Delvin. Tampaknya lelaki itu semakin nyaman. Terdengar dengkuran halus. Baru kali ini juga Sahara tidak tega kepada Delvin.
"Ada yang mau dibahas? Kalau enggak kita akhiri," kata kakak pembimbing.
Animalia menggeleng. "Saya rasa cukup, Kak, yang lain?" Kini sorot matanya beralih pada Sahara.
Pupil mata Sahara seketika membesar. Bibirnya menganga tanpa sengaja. Kemudian dia menggeleng.
"Delvin tidur." Dia menunjuk lelaki di sebelahnya dengan sorot matanya.
"Ya sudah kita pulang saja sudah sore."
Satu per satu dari kelompok Delvin beranjak dari kursi. Animalia pulang lebih dahulu setelah kakak pembimbing.
"Duh, nempol terus kemana-mana," ujar salah satu teman kelompok Delvin. Cantik, tapi sedikit tebal make-up.
Sahara hanya tersenyum.
"Delvin bangun!" Kali ini Sahara geram. Ia menarik beberapa anak rambut di pelipis lelaki itu. Seketika si empu merespon.
Akhhh.
Gusar Delvin menggosok pelipisnya. "Sakit, Ra." Namun, dia kembali tidur.
"Lo mau cosplay jadi hantu penunggu kampus?"
"Hmm."
Detik selanjutnya hanya ada keheningan. Atensi Sahara terpaku pada wajah polos Delvin. Mata yang terbingkai indah oleh kacamata. Sering kali bibir ranum itu bertutur lembut. Wajahnya damai dan menenangkan. Tanpa sadar Sahara tersenyum simpul.
"Lo temen gue, ya," tuturnya pelan agar si empu tidak terusik.
Jemari lentik nan mungil gadis itu mulai menjelajah. Menyusuri setiap senti kulit wajah Delvin. Dia hanya mengikuti kata hati. Didaratkan kepalanya di sebelah Delvin agar sejajar. Lamat-lamat ia menatap raut wajah temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NARASI DELVIN
Подростковая литература"Vin, lo bakal ninggalin gue nggak?" "Kenapa?" "Kayak ayah pas pergi." Delvin terdiam sejenak. Pikirannya kembali pada malam hari tadi. Sekarang ia mengerti kenapa semalam Sahara menangis. "Gak janji, tapi gue usahain." *** Bagaimana rasanya jika ka...