Aku pernah begitu antusias menunggu pagi tiba. Karena pagiku akan disambut lelaki pemilik mata teduh dan senyum ramah di depan rumah. Dirinya selalu siap di atas motor. Kemeja apapun yang ia pakai selalu dibalut jaket abu-abu berbahan parasit. Dia suka tersenyum kala diriku muncul dari pintu. Tapi aku juga benci dengan pot yang melingkar di lehernya.
Sahara A.
~~~
"Sok-sokan ngisep gituan, malamnya batuk-batuk!"
"Jelek! Suka-sukalah!"
"Awas aja kalau batuk bilang, 'Ra gue pusing, Ra tenggorokan gue sakit, Ra, Ra'." Sahara
"Iya tuan puteri ga lagi." Segera Delvin melepas potnya kemudian dimasukkan ke dalam tas.
Sahara tersenyum simpul. Lelaki itu selalu menurut apa yang Sahara bilang. Katanya, aku gak mau orang di sekitarku sakit.
"Ada tugas?" Ini kalimat keramat Delvin sebelum berangkat ke kampus. Sahara sangat hafal.
"Enggak."
Pagi ini Sahara memakai kemaja biru dengan motif garis-garis putih. Dipadu celana kain warna hitam. Kakinya beralas sneakers putih polos. Rambutnya dibiarkan terurai.
Gadis itu menduduki jok motor belakang Delvin. Seperti biasa mereka berboncengan menuju kampus. Delvin tak banyak bicara kala menyetir, sebaliknya Sahara akan terus berceloteh kala moodnya baik.
Rencana Tuhan seru, ya, mempertemukan dua insan ini. Tapi terkadang, Sahara takut pada rencana Tuhan selanjutnya.
Di tengah perjalanan, tangan Sahara memeluk erat tubuh Delvin. Mendaratkan dagu di pundak ringkih lelaki itu. Bibirnya mengucap kalimat pelan.
"Vin, lo bakal ninggalin gue nggak?"
"Kenapa?"
"Kayak ayah pas pergi."
Delvin terdiam sejenak. Pikirannya kembali pada malam hari tadi. Sekarang ia mengerti kenapa semalam Sahara menangis.
"Gak janji, tapi gue usahain."
"Kalau nanti lo punya cewek baru, kenalin ke gue, ya, biar kita bisa temenan."
"Gue ga pacaran. Mau hargain orang tua yang susah payah cari nafkah."
"Terus kalau kita namanya apa?"
Lelaki itu menatap Sahara lewat spion. Gadis itu tampak kusut. Dagu gadis itu telah bertengger manis di pundaknya. Memasang mata yang mulai berkaca-kaca.
Tidak! Dia tidak sedang mengaharap kasihan Delvin. Dia juga tidak sedang menuntut kejelasan pada Delvin. Tapi dia sedang kecewa dengan permainan semesta. Bukankah seharusnya ia masih bersama ayah hari ini.
Mungkin naluri seorang lelaki. Delvin menarik tangan Sahara lembut. Menggenggamnya dengan erat seraya memberi sapuan halus menggunakan ibu jari.
"Gue tahu lo lagi baik-baik aja. Sekarang mau bahas masalah lo apa hubungan kita?"
Bukannya menjawab Sahar justru menangis. "Jangan berubah, ya."
"Iya Sahara Aurelia."
Kini Delvin menggenggam tangan Sahara erat. Membairkan gadis itu membasahi jaketnya dengan air mata. Perlahan ia menarik tangan gadis itu di dekat bibir, kemudian mengecupnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NARASI DELVIN
Teen Fiction"Vin, lo bakal ninggalin gue nggak?" "Kenapa?" "Kayak ayah pas pergi." Delvin terdiam sejenak. Pikirannya kembali pada malam hari tadi. Sekarang ia mengerti kenapa semalam Sahara menangis. "Gak janji, tapi gue usahain." *** Bagaimana rasanya jika ka...