The Price To Pay

337 61 7
                                    

Chapter 4 ( Harga Yang Harus Dibayar)

Anna melepas sepatunya kemudian dia melangkah mendekati ranjang tidurnya yang berukuran single juga terlihat lusuh (Benar-benar tidak layak pakai). Dia duduk dipinggir ranjangnya, memegangi ponselnya dan mencoba menghubungi satu-satunya orang yang menjadi penyemangat hidupnya. Dan Anna berani bersumpah, kalau Jisung (Adik laki-laki satu-satunya yang dia miliki) itu tidak ada maka Anna yakin dia akan memilih untuk menenggak racun tikus (karena menurutnya racun itu yang paling murah dan bisa Anna beli). Sungguh, Anna rasa dia lelah hidup di dunia sialan yang penuh dengan orang brengsek ini.

Anna tersenyum, tulus dan membuat wajah cantiknya terlihat dua kali lipat lebih cantik tengah malam ini. "Kenapa belum tidur?" Senyuman Anna melebar saat suara berat adiknya terdengar masuk kedalam gendang telinga kanannya itu.

{"Apa kau sedang mabuk? Bukankah sudah aku bilang untuk jangan minum jika tidak ada aku?}

"Aku tidak mabuk, Park Jisung! Jadi, kenapa kau belum tidur jam segini?" Anna melirik satu-satunya jam dinding yang ada didalam rumahnya itu kemudian dia menambahkan. "Apa kau baik-baik saja?" Anna bisa membayangkan wajah tampan adiknya yang kini tengah tersenyum sebelum kembali menjawab pertanyaannya itu.

{"Baguslah kalau kakak tidak mabuk. Aku baik-baik saja, sungguh! Aku baru selesai latihan dua jam yang lalu dan sekarang aku masih belum terlalu mengantuk. Bagaimana dengan kakak? Apa yang baru kakak lakukan sampai meneleponku pada jam segini?"}

Apa yang barus saja Anna lakukan memangnya? Haruskah Anna jujur pada adik kesayangannya ini kalau dia baru pulang bekerja di club malam?

Anna lagi-lagi tersenyum walau sesuatu baru saja terasa menyayat hatinya, pedih. "Aku juga baru pulang bekerja dua setengah jam yang lalu. Dan karena aku sudah mencoba untuk tidur sedari tadi tapi sepasang mataku yang paling cantik ini tetap tidak bisa merekat terpejam. Lalu aku kepikiran pada adik ku yang sudah hampir tiga belas jam belum memberiku kabar, jadilah aku meneleponmu,"

{"Dua setengah jam yang lalu?"} Ada jeda yang membuat Anna menebak kalau adiknya itu tengah berpikir sebelum dia mendengar Jisung melanjutkan. {'Bukankah itu artinya jam sebelas? Kenapa kakak harus bekerja hingga semalam itu? Harus berapa kali aku bilang kalau kakak tidak perlu bekerja terlalu keras hanya untuk ku, kak?! Lagi pula aku tidak perlu tinggal di asrama ini. biayanya selalu bertambah setiap tahunnya!"}

Anna ingin menangis, tapi dia tahu kalau Jisung akan menyadarinya. Dan sebelum dia membuka kalimatnya, Jisung sudah lebih dulu kembali membuka suaranya. {"Aku bisa bersekolah di sekolah biasa. Kita bisa tinggal bersama. kak!"}

"Lalu bagaimana dengan mimpimu? Bukankah dulu kau bilang pada ayah dan ibu kalau kau ingin jadi pemain sepak bola yang bisa diandalkan oleh negara kita? Kau ingin menjadi pemain nomor satu hingga membuat ayah dan ibu bangga. Lalu, bagaimana jika ayah dan ibu menghantuiku karena mereka pikir aku tidak becus mengurusimu?"

{"Tapi kak, ak-"}

"Tidak ada kata tapi atau penolakannya lainnya, Park Jisung! Kakakmu ini masih bisa membiayai sekolahmu agar kau bisa menggapai impianmu itu. Jadi kalau kau merasa ingin membalas budi semua yang sudah aku lakukan ini padamu, kau harus terus belajar dan latihan yang giat. Dan lagi, tidak setiap hari aku pulang lembur jadi kau tidak perlu terlalu khawatir, oke!"

Adiknya Jisung itu bukanlah lelaki yang cengeng. Justru Anna faham kalau adiknya yang baru berumur lima belas tahun ini adalah anak lelaki yang punya pikiran lebih dewasa dari yang seharusnya. Anna kembali tersenyum, mulutnya bergerak untuk berkata dengan lembut. "Park Jisung, dengarkan kakakmu ini! Hanya kau satu-satunya yang aku punya saat ini. Hanya kau yang paling berharga dan aku tahu betul kalau kau juga pasti merasa begitu padaku. Kau juga pasti akan melakukan apapun untuk kakakmu ini bukan? Jadi, ayo tetap semangat! Semangat dan terus raih impianmu itu!"

The Worst ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang