Haechan keluar dari kelas setelah bel pulang berbunyi, dia membawa ransel Jaemin, raut wajahnya tampak sangat panik, alisnya bertaut bingung, dia bergegas lari menuju kelas menggambar untuk mencari Jaemin yang tak kunjung kembali. Selama belajar, dia terus tak tenang.
Haechan langsung masuk ke dalam kelas saat melihat pintu terbuka, namun betapa terkejutnya dia saat melihat Jaemin meraung di balik pintu, kondisinya amat mengenakan, rambutnya berantakan, seragamnya kusut meski ia sudah memakai kembali celananya.
“Jaemin!” Pekik Haechan seraya menutupi mulutnya, dia langsung berjongkok di depan Jaemin, menangkup kedua pundak pemuda itu.
“Jaemin, apa yang terjadi padamu?” Tanya Haechan, namun Jaemin tak memberikan jawaban, dia hanya menangis seraya mengusapi tubuhnya seolah menyeka sentuhan Jeno.
Melihat Jaemin ketakutan dan menggigil membuat Haechan bergemuruh, dia pandangi Jaemin kemudian melihat sekitar dan melihat tetesan cairan berwarna putih kental. Jantungnya berdetak sangat cepat dan wajahnya memerah padam, dia langsung membekap mulutnya dan terduduk, air matanya langsung menetes tanpa bisa ia tahan.
“Tidak mungkin” Lirih Haechan.
“Jaemin, siapa yang melakukan ini padamu?” Tanya Haechan.
Namun lagi-lagi Jaemin tak memberikan jawaban. Dia hanya sibuk menjambaki rambutnya, pertanyaan Haechan justru membuat ingatan tentang Jeno memenuhi kepalanya membuatnya ketakutan. Kepalanya menggeleng kuat menepis ingatan itu.
“Siapa Jaemin? Siapa bajingan yang melakukan ini padamu?” Tanya Haechan meninggikan nada bicaranya.
Melihat Haechan yang menangis, meraung, kalang kabut dan menuntutnya justru membuat Jaemin kian hancur. Dia mendelik lalu mendorong Haechan menjauh, dia ketakutan sendiri membuat hati Haechan teriris melihatnya.
Haechan langsung merengkuh Jaemin yang berusaha mendorongnya.
Perlakuan Jeno, membuat Jaemin takut. Takut pada siapa pun yang berusaha mendekatinya.
Haechan merapikan pakaian Jaemin, setelahnya dia membantu Jaemin untuk berdiri. Hatinya bak di sayat saat melihat Jaemin tertatih. Dugaannya benar, seseorang dengan tega telah memperkosanya.
Namun Haechan tidak memikirkan apa pun untuk saat ini, kondisi Jaemin adalah yang terpenting. Dia dengan sabar, membantu Jaemin yang melangkah dengan terseok karena analnya perih. Air matanya tak mau berhenti menetes melihat Jaemin menangis seraya mendekap tubuhnya sendiri.
Setibanya di rumah, Haechan langsung mendudukkan Jaemin di tepi ranjang. Dia merogoh ponselnya lalu mencari kontak Jaehyun.
“Haechan, aku sedang rapat. Ada apa?” Tanya Jaehyun.
“Pulanglah Hyung” Jawab Haechan terisak.
“Aku sedang rapat, bicara di telepon saja. Apa ada perkembangan tentang perundungan Jaemin?”
“Pulanglah Hyung. Ini lebih penting dari apa pun” Sahutnya memaksa.
“Baiklah” Jawab Jaehyun dengan helaan nafas.
Haechan memutus sambungan teleponnya, dia pandangi Jaemin yang melamun, pandangannya kosong, pasti sudah lelah meratapi nasibnya. Sudah tak tahu harus bagaimana dia melampiaskan sakitnya.
Lima belas menit menunggu, Jaehyun akhirnya pulang. Dia langsung naik ke lantai atas saat tak melihat siapa pun di bawah, dia lihat pintu kamar sang adik terbuka lantas dia masuk ke sana dan melihat Haechan dan Jaemin tengah berpelukan sembari menangis.
“Ada apa?” Tanya Jaehyun mengejutkan keduanya.
Haechan melepaskan pelukannya, membiarkan Jaemin kembali melamun, dia usap air mata yang membanjiri pipinya lalu menarik nafas dalam, menenangkan dirinya sebelum bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelions [NOMIN]✓
Fanfiction[COMPLETED] He's like dandelions CW / ANGST, DIFABEL, TW / BULLYING, RAPE a nomin story. warning alert : BxB Area!! homophobic dnr! if you don't like this book, just go away. thanks ♡♡ Update rank : #1 angst (11/05/2023) #3 jenjaem (18/05/2023) #...