19

156 30 2
                                    

Pikiran Jiho sudah lebih baik sejak traffic artikelnya meningkat. Thanks to Woozi yang sudah membawanya ke beberapa tempat, yang memberikanya ide secara tidak langsung hingga ia mendapatkan proyek baru dengan tim design grafis kantornya untuk menulis beberapa artikel ilmiah tentang psikologi yang dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami bulan depan. Ia tidak jadi dipecat apalagi mendapatkan pengurangan gaji karena artikelnya mengenai fasilitas olahraga di Pantai Gwanghae juga viral di Naver.

Jiho tidak mengelak jika semua pekerjaan pasti akan melelahkan dan ada titik stresnya. Seperti yang ia alami kemarin. Tapi yang membuatnya makin stres adalah pekerjannya juga menjadi coping-mechanism, yang tidak berfungsi saat ia stres bekerja. Seperti yang dialami oleh seorang Woozi pula, sampai pria itu harus ke Busan untuk menenangkan pikiran. Sulit memang, tapi pekerjaan yang berasal dari passion adalah anugerah yang tidak bisa dielakkan.

Menyenangkan bekerja sesuai impian, Jiho akui itu. Tapi kalau sudah stres, ya, sama saja. Makanya saat Woozi bercerita tentang pekerjaannya, Jiho merasa relate, tidak heran obrolan mereka bisa nyambung meski bidang yang mereka tekuni berbeda. Dan ia merasa sedih karena pria itu harus kembali ke Seoul.

Tinggallah ia sendiri, menjalani hari seperti biasa di Kota Busan, kota kelahirannya.

"Tante!!"

Pekikan Ilwoo membuyarkan lamunan Jiho tentang kehidupannya. Ia yang sedang duduk di halte segera berdiri, menerima pelukan Ilwoo yang berlari dari pintu bus yang terbuka, tampak senang bisa pulang dari TK.

"Jangan berlari, Jeon Ilwoo." Jiho mendesis, tersenyum tipis sambil menepuk pantat Ilwoo pelan.

Ilwoo mengerucutkan bibir. "Kan aku senang melihat tante menjemputku."

"Kau senang karena tahu Tante akan mampir ke mini market, kan?"

Senyum Ilwoo menguar, sangat lebar ditambah cekikikannya yang membuat Jiho turut terkekeh. Keponakannya itu memang moodboaster meski terkadang ia malas menjemputnya di halte. Tapi mau bagaimana lagi?

Di rumah hanya ada Ibu dan dirinya. Ayah Ilwoo, Kakaknya, sibuk bekerja, bahkan sering keluar kota. Ibu Ilwoo sudah tidak ada sejak Ilwoo lahir sehingga ia dan Ibunya yang mengurus anak itu sejak bayi. Ibunya pun sudah mulai tua sekarang. Tidak sampai hati Jiho membiarkan Ibunya berjalan kaki ke halte yang cukup jauh dari rumah untuk menjemput keponakannya itu. Jadi, Jiholah yang harus melakukannya hampir setiap hari--yang menjadi alasan Jiho untuk selalu bekerja di rumah.

"Ilwoo mau susu." Kata Ilwoo menunjuk sekotak susu berwarna cokelat di rak pendingin saat Jiho sedang memilah minuman soda di mini market.

"Boleh. Ambil yang di rak biasa, ya."

"Yang dingin nggak boleh, Tante?" Tanya Ilwoo sambil mengerucutkan bibir dan Jiho mencubit pipi keponakannya dengan pelan.

"Kemarin sudah beli es krim, kan?"

"Susu dingin hari ini nggak boleh?"

Jiho menggelengkan kepala, tersenyum penuh arti kepada Ilwoo yang langsung menghela napas pelan, kecewa karena sikap manisnya tidak membuahkan hasil. Anak laki-laki itu pun berjalan sambil menundukkan kepala ke rak susu yang tidak didinginkan--diantar tatapan Jiho yang mendengus kecil. Selama mengurus Ilwoo ia harus bersikap tegas karena Ibunya sering memanjakan keponakannya itu. Kalau ia tidak tegas, Ilwoo bisa tumbuh menjadi anak yang manja.

"Kau benar-benar tante yang mengerikan."

Bulu kuduk Jiho meremang, seorang pria tiba-tiba sudah berada di sisinya, berkata dengan suara yang kecil hingga ia secara refleks bergeser menjauh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bulu kuduk Jiho meremang, seorang pria tiba-tiba sudah berada di sisinya, berkata dengan suara yang kecil hingga ia secara refleks bergeser menjauh.

"Woozi!" Jiho berseru saat pria itu memperlihatkan wajahnya dengan membuka masker yang ia kenakan. Ia pun menepuk bahu Woozi dengan cukup keras, kesal karena benar-benar kaget melihat pria itu.

Woozi nyengir sebelum mengenakan maskernya kembali. "Tampilanku tidak dikenali dengan mudah, kan?"

"Kau seperti psikopat." Rutuk Jiho membuat Woozi tidak bisa menahan tawa.

"Tan....te..." Suara Ilwoo otomatis mengecil saat menghampiri Jiho dengan sekotak susu cokelat di tangannya. Anak laki-laki itu segera mengatupkan mulut melihat Woozi dan bersembunyi di balik kaki Jiho, tampak ketakutan melihat Woozi yang mengenakan pakaian serba tertutup hari ini.

"Lihat? Ilwoo saja takut padamu." Kata Jiho lagi sambil mengusap puncak kepala Ilwoo dengan pelan.

"Hai, Ilwoo." Sapa Woozi kemudian, membuka maskernya agar Ilwoo bisa mengenalnya hingga kedua mata anak itu berbinar.

"Paman!"

Benar saja, Ilwoo langsung mengenalnya dengan mudah, bahkan sempat melompat kegirangan menyapa Woozi yang kembali terkekeh melihat sikap anak itu.

"Ilwoo mau susu cokelat yang dingin?" Tanya Woozi sambil menundukkan kepala agar bisa melihat Ilwoo lebih dekat. Ia sebenarnya tidak begitu paham cara untuk mendekati anak kecil, sebagaimana ia adalah anak tunggal di rumah. Tapi Ilwoo berbeda. Anak itu mendekatinya lebih dulu sehingga rasanya Woozi tidak merasa sulit untuk bercengkrama dengannya.

"Kata Tante Jiho nggak boleh, Paman."

"Memang tidak boleh." Sahut Jiho tanpa ampun, mendelik pada keponakannya yang telah mengerucutkan bibir.

"Hari ini saja memangnya tidak boleh?" Woozi berbisik kepada Jiho, berharap perempuan itu bisa mengabulkan keinginan Ilwoo tapi ia malah dihadiahi delikan tajam.

"Ahh... ya, tidak boleh. Ilwoo suka permen cokelat, tidak?" Tanya Woozi kikuk kepada Ilwoo. Bulu kuduknya meremang melihat ekspresi Jiho yang sangat mengerikan. Tidak menyangka ketegasan Jiho yang keukeuh tidak ingin membelikan keponakannya es susu cokelat.

"Permen cokelat juga tidak boleh." Ucap Jiho sebelum Ilwoo merespon, membuat Woozi kalang-kabut.

"K-kalau begitu, Ilwoo bisa dibelikan apa Tante Jiho??"

~~~

"Kau... benar-benar." Woozi mendesis kepada Jiho yang berjalan di sampingnya sambil memperhatikan Ilwoo yang berjalan menarik mainan truk kecil yang ia beli dari toko kelontong dekat restoran Samgyetang Ibu Kim. Mainan untuk Ilwoo, tentu saja, setelah menawarkan berbagai macam jajanan yang ditolak Jiho untuk keponakannya itu.

Jiho menghela napas pelan. Ia juga memperhatikan Ilwoo dengan saksama agar anak itu tidak hilang atau tiba-tiba melewati jalan yang salah karena keasyikan menarik mainan barunya. Memang, rasanya senang melihat Ilwoo mendapatkan sesuatu dari seorang Woozi, tapi pria itu menawarkan hal-hal yang tidak ia perbolehkan untuk Ilwoo seperti makanan manis atau jajanan yang memiliki kandungan msg yang terlalu banyak. Sampai ia berdebat dengan Woozi di mini market selama beberapa saat sebelum Woozi mencetuskan ide untuk membelikan Ilwoo mainan.

"Dia sudah banyak jajan minggu ini, Woozi. Aku harus memperhatikan asupannya karena Ibuku sering memanjakannya kalau aku bekerja di kantor."

"Sesekali juga tidak apa-apa, kan?" Tanya Woozi retoris hingga Jiho mendecakkan lidah dengan kesal.

"Dia sudah terbiasa karena Ibuku, Woozi. Kalau aku longgar dia makin sering jajan."

"Tapi tetap saja..."

"Tetap saja aku yang harus tegas." Tegas Jiho membuat Woozi terdiam. Pria itu melipat bibir, melirik Jiho yang kembali menghela napas gusar memandang keponakannya dengan intens.

"Tapi dia bisa ditegaskan oleh orangtuanya, kan?"

Jiho menggeleng keras. Kaget dengan pertanyaan Woozi tapi ia sadar jika pria itu memang tidak tahu apa-apa soal Ilwoo hingga ia menjawab pertanyaan retoris itu dengan volume suara yang kecil.

"Ibu Ilwoo sudah meninggal, Woozi. Ayahnya, Kakakku sibuk bekerja. Makanya hanya aku dan Ibu yang bisa mengurusnya."

Kedua alis Woozi terangkat. Ia merasa malu luar biasa hingga menutup maskernya menggunakan telapak tangan.

"M-maaf, Jiho... aku tidak tahu."

"Tidak apa-apa. Sekarang kau jadi tahu, kan? Jadi, berhenti mengataiku sebagai tante yang jahat." Kata Jiho sambil menyikut pinggang Woozi dengan pelan, menguarkan senyum kecil Woozi di balik masker.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Ocean (바다) [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang