11. Pesta & Hati Yang Tak Bahagia

23 4 6
                                    

"Brownies udah matangg!" seru Zeline dari arah dapur. Gadis itu membawa potongan potongan brownies kering ke arah halaman depan kosan. Semua anak kosan telah berkumpul di sana.

Ini kebiasaan mereka jika malam minggu di awal bulan. Mereka akan melakukan acara bakar bakar atau masak masak seperti ini. Tentu saja hal itu tidak luput dari pembagian tugas. Seperti contoh, yang tadi baru saja mereka lakukan. Zeline, Karlyn, dan Adeline, di tugaskan untuk membuat roti. Jove dan Rena menyiapkan bahan bahan untuk baluran ayam, sosis, dan jagung yang akan mereka bakar, dibantu oleh Kylie. Ghea, Kajesha, dan Alea mendapat bagian untuk membuat es. Sedangkan yang lain ada yang mendapat bagian belanja, ataupun membakar ayam.

"Wuihh, aromanya enak banget," ucap Rangga ketika mencium ayam yang dibakar Javian.

Mereka semua berkumpul, bernyanyi, dan menari, mereka semua bahagia. Apalagi disana ada Mas Ical, yang memang mereka undang untuk makan makan bersama. Mas Ical mah oke oke aja, lha wong gratis.

Tetapi kebahagiaan itu tak nampak pada kilauan mata Kajesha. Ia hanya duduk di pinggiran kolam sembari memandangi orang orang berlalu lalang merayakan pesta. Tatapannya begitu teduh, ia tidak berniat untuk bergabung ke dalam kebahagiaan orang orang itu. Dari matanya, dapat terlihat ada banyak beban pikiran di otaknya. Bahkan suara Alea yang sedang menyanyikan lagu Jawa bersama Mas Ical di tengah halaman pun, tidak dapat menarik perhatian Kajesha untuk ikut bergabung.

Kajesha berdiri dari tempatnya duduk. Ia memilih untuk pergi, sebelum pada akhirnya Adeline mencekal tangannya.

"Mau kemana, Sha?" tanya Adeline. Ia merasa Kajesha terlalu terburu buru, padahal pesta itu baru saja di mulai.

"Anu, mau ke kamar mandi. Iya, kamar mandi!" jawab Kajesha asal. Sebenarnya ia juga tidak tau ingin pergi kemana. Ia hanya butuh menyendiri. Suasana malam ini begitu ramai untuk tubuh, hati, dan pikiran Kajesha yang carut marut.

"Ohh..iyaaa. Cepet balik yaa!" mendengar seruan dari Adeline, Kajesha hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman kecil. Kakinya melangkah memasuki gedung kosan.

"Kajesha mau kemana katanya?" Zeline bertanya kepada Adeline, setelah kepergian Kajesha. Ia merasa aneh saja, tak biasanya Kajesha menyendiri ketika yang lain sedang asyik berkumpul seperti ini. Jiwanya semua penghuni kosan tuh extrovert, ga deng.

"Katanya sih tadi mau ke kamar mandi,"

Zeline hanya mangut mangut. Kemudian ia melangkah meninggalkan Adeline pergi. Ada banyak pekerjaan lain yang harus ia lakukan. Ia juga tau, Kajesha pasti akan kembali dalam waktu cepat. Ke kamar mandi, kan?

Sedangkan Kajesha di dalam kosan, dia sudah memutuskan pilihannya. Ia pergi ke balkon, ia ingin berteriak dan menangis sekencang kencangnya. Maka dari itu gadis itu kini melangkah menapaki tangga menuju balkon. Memang terlihat menakutkan sih, tapi Kajesha tidak peduli, dia hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya yang berantakan.

Kajesha menyalakan senter di ponselnya. Berjalan menaiki tangga dengan langkah yang sangat hati hati. Tangga itu cukup licin, karena memang jarang di gunakan. Dulu sih di buat tempat jemuran katanya. Tapi karena di buatkan tempat jemuran di bawah, sedikit sekali penghuni kosan yang menjemur bajunya di sini, termasuk Kajesha.

Suara berdecit yang berasal dari pintu balkon ketika Kajesha membukanya, terdengar seperti pintu tua yang memang jarang di pergunakan. Pintu bercat biru muda itu bahkan sudah berkarat dan mengelupas. Makanya suaranya begitu tidak bersahabat ketika di buka.

Kajesha mendekat ke arah pembatas, ia berada di sana sendirian. Ia memejamkan matanya, merasakan semilir angin berhembus mengenai kulitnya dan menerbangkan beberapa helai rambutnya. Bintang bintang malam ini tak banyak muncul, hanya ada satu hingga enam biji yang nampak di langit. Cukup terang. Lebih dari sekedar cukup untuk menemani Kajesha yang sendirian di atas balkon.

"AAAAAAAAAA, BANGSAT!" teriak Kajesha. Dia berteriak, dia mengumpat, dia menangis. Dia melampiaskan semua kekesalannya di atas balkon.

Tanpa Kajesha sadari, sedari tadi ada seseorang yang tengah berada di balkon untuk bermain gitar sendirian. Ditemani dengan putungan rokok yang terselip di ujung jarinya. Orang itu sudah tau sejak Kajesha membuka pintu. Ia juga sepertinya tau apa yang dirasakan Kajesha saat ini, namun ia tak ingin menganganggu Kajesha yang tengah sibuk berkutat dengan pikirannya. Melampiaskan segala kekesalannya di balkon.

"Bangsat, bangsat, bangsat." Kajesha mengumpat. Ia menangis sejadi jadinya. Ia tak bilang bahwa ia adalah makhluk yang paling terluka di dunia ini. Tapi dia juga lelah atas apa yang telah ia lalui di kehidupannya. Kajesha sudah muak berpura pura. Ia muak berpura pura bahwa ia baik baik saja. Di depan semua penghuni kosan, ia selalu tertawa dan menjadi sosok yang ceria. Namun sampai kapan ia akan seperti ini terus? Membohongi dirinya sendiri?

"Jangan nangis terus. Dengerin gue gitaran, mau?" ucap seseorang yang sedari tadi mengamati Kajesha. Awalnya ia tidak ingin ikut campur kepada Kajesha. Tetapi sepertinya ia iba melihat Kajesha yang menangis meraung raung. Setidaknya dia harus menghibur Kajesha walau hanya sedikit.

Kajesha menyeka air matanya, nampak terkejut dengan kedatangan orang tersebut. Dia adalah Ragas. Walaupun Ragas adalah teman satu kosnya, tapi mereka tidak dekat. Baik Ragas maupun Kajesha, hanya saling mengenal nama satu sama lain.

"Makasih, tapi gausah," jawab Kajesha. Tangisannya berhenti karena kedatangan Ragas yang kini sudah duduk di sampingnya dengan tenang. Bersama rokok yang masih terselip di jari jarinya.

"Mau cerita? Tumben banget sunshinenya anak anak 95 jadi sedih. Kayaknya masalahnya gede banget? haha,"

Kajesha terdiam atas pertanyaan Ragas. Sepertinya Ragas memang orang baik. Dia harus mulai mengenal Ragas lebih dekat sebagai seorang kakak setelah ini.

"Ga apa apa kalo aku cerita?"

"Gapapa."

"Aku bingung mulainya darimana.." Kajesha menghembuskan nafasnya, ia mulai bingung dengan awal mula cerita yang akan ia beberkan untuk pertama kalinya kepada orang lain. Sedangkan Ragas hanya terdiam, memposisikan diri untuk mendengarkan cerita dari Kajesha.

"Ayah sama ibu..mereka pisah pas aku kelas 3 SMA. Aku punya adek, adekku dan aku ikut nenek karena orang tua kita sama sekali ga mau urusin kita, mereka lepas tanggung jawab. Lalu aku dapet beasiswa di Universitas Adiwarma yang aku impikan dari dulu, akhirnya nenek nyuruh aku buat kuliah dan ninggalin nenek sama adek di kampung halaman buat ngerantau. Tapi kemarin aku dapat kabar kalo nenek aku meninggal dunia. Aku udah berusaha hubungin ayah sama ibu buat urusin adek, tapi mereka malah ga bisa dihubungin. Aku bingung, adek harus ikut siapa lagi. Ga ada sanak keluarga yang mau urusin adek, padahal adek masih kecil. Aku mau nyerah aja. Aku cape, aku gatau mau gimana lagi. Aku mau ketemu adek tapi aku belum punya uang..." Kajesha menangis di akhir ceritanya. Dia benar benar bingung atas apa yang telah ia alami.

Ragas pun juga ikut terdiam. Masalah keluarga memang sangat rumit.

"Jadi.. lo nangisin adek lo ya?"

"Iya. Aku ngerasa aku bukan kakak yang baik buat dia. Aku ga bisa ngurusin dia..."

Ragas tersenyum, ia menepuk pelan punggun Kajesha.

"Jangan gitu, gue percaya adek lo ga akan pernah mikir kayak gitu. Gimana kalo adek lo tinggal disini aja? Lo ga mungkin putus kuliah karena mau ngurusin adek lo, kan? Gue bakal kasih paham ke semua penghuni kosan dan keluarga Bu Tria. Gue yakin mereka bakal setuju. Lo besok jemput adek lo ya? Gue anterin. Tolong jangan nyerah, inget adek lo masih butuh lo buat jadi satu satunya pelindung dia. Tolong bertahan."

Kajesha mengangguk, ia senang Ragas mau memberi semangat sekaligus membantunya. Memang terkadang, masalah akan terasa ringan ketika diutarakan.

•••

Males, betmut banget. Semua cowo emang sama aja, tapi kalo Jeongwoo dan Mas Ical sama aku aja😍

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kosan 95Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang