4: Buku Pedoman

2.8K 137 7
                                    


Perjalanan menuju Pulau benar-benar panjang. Begitu aku mendarat di Bandara Internasional Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang, sebuah mobil menjemput kami menuju Pelabuhan Tanjung Pinang. Kami semua transfer ke sebuah kapal sekitar pukul tiga pagi, ketika tak ada aktivitas apa pun di pelabuhan. Di dalam kapal, aku tertidur di sebuah sofa nyaman, hingga akhirnya Garuda Satu membangunkanku untuk melihat matahari terbit.

Dua jam setelah melihat matahari terbit, aku tiba di Pulau. Sengaja sejauh ini nama pulaunya tak disebutkan oleh Garuda Satu. Kami hanya menyebutnya "Pulau". Pulau itu tampak sepi dan kosong, tetapi enggak kecil. Dermaganya dari kayu yang mulai lapuk, sehingga kapal agak kesulitan merapat. Di ujung dermaga, sebuah mobil Jeep menyambut kami dan membawaku ke satu mansion besar di bagian lain pulau.

Dalam perjalanan, aku melewati jalan setapak dari tanah yang berbatu. Kanan kiri kami hutan tropis yang masih asri. Suara serangga dan binatang hutan terdengar bersahut-sahutan sepanjang kami lewat. Beberapa bangunan peninggalan Belanda tampak berdiri terbengkalai di beberapa titik. Oke banget untuk dijadikan lokasi uji nyali atau ketangkasan. Setengah jam perjalanan dari dermaga, kami tiba di mansion modern yang mewah, dengan halaman depan yang sangat luas. Dua bodyguard berdiri di depan pintu masuk, menjaga dengan gagah.

Tidurku belum memuaskan. Aku memasuki mansion setengah terkantuk-kantuk. Ketika berada di dalam, sepuluh kandidat itu juga sudah berada di sana. Mereka berbaris rapi, telanjang dada, hanya mengenakan celana loreng dan sepatu bot bersol tinggi. Keseluruh mata mereka ditutup.

Aku berhenti di depan mereka, menatap satu per satu setiap sosoknya dengan jelas. Terakhir aku melihat mereka semalam, dengan pencahayaan gudang yang minim. Sekarang, karena mansion ini berjendela banyak dan besar, cahaya matahari masuk banyak-banyak ke dalam. Aku bisa melihat dengan detail tubuh telanjang mereka semua.

Masih seperti semalam, semuanya oke.

Kesepuluh orang ini straight, mampu menahan beban saat merentangkan tangan, mampu bernapas lebih dari tiga menit di bawah air, dan mampu memasukkan tiga dildo ukuran berbeda ke lubang anusnya. Sampai titik ini aku terkesan. Tapi aku masih punya banyak rencana untuk mereka.

"Pagi!" sapa Garuda Satu tegas.

"SIAP, PAGI!" balas para kandidat serentak.

Aku menyipitkan mata setengah sebal. "Aku enggak suka gaya militer begini," kataku. "Mereka ini anjing-anjingku sekarang. Bukan tentara."

Garuda Satu menoleh dan mengangguk. Dia berbicara lagi kepada sepuluh kandidat itu. "Selamat sudah bertahan sejauh ini. Pada hari ke-15 nanti, hanya ada tiga, atau kurang, yang akan bergabung ke dalam Garuda Utama. Seluruh keputusan tentang siapa yang lanjut bertahan, atau siapa yang tereliminasi di tengah proses, ada di tangan Tuan Tama. Seluruh perintah di pulau ini ada di tangan Tuan Tama. Mengerti?"

"SIAP, MENGERTI!"

Kutonjok lengan Garuda Satu yang kekar. "Udah kubilang, aku enggak suka gaya militer barusan!"

Garuda Satu mengangguk. "Mulai detik ini, seluruh kandidat ini adalah budak Tuan. Mereka hanya tunduk pada komando Tuan. Objektif mereka adalah melayani dan memuaskan Tuan. Jika mereka gagal, Tuan boleh mengeliminasi mereka."

Aku mengangguk paham. "Oke, kalau gitu. Mereka sudah tidur?"

"Mereka sudah mendapatkan istirahat yang cukup dalam perjalanan ke Pulau."

"Mana kamarku?"

"Mari." Garuda Satu memimpinku ke sebuah kamar di lantai dua. Kamar luas dengan ranjang besar di tengah-tengah ruangan menghadap ke jendela besar. Pemandangannya laut luas, menghadap ke timur. Sebuah balkon lebar juga membentang di depan kamar, bisa digunakan untuk berpesta. Lebar ruangan itu mencapai enam belas meter.

Mencari Budak SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang