1: Utama Gardapati

7.6K 175 43
                                    


Namaku Utama Gardapati. Panggilan sehari-hariku Tama—karena agak aneh kalau orang dinamai Utama. Tapi dari segi arti, memang aku orang utama yang akan menerima seluruh warisan ayahku, Maheswara Gardapati. Aku menjadi satu-satunya lelaki dari empat bersaudara di keluargaku. Anak bungsu yang akhirnya menyetop ibuku terus-menerus melahirkan demi mendapatkan anak laki-laki di keluarga.

Ayahku pengusaha besar yang berpengaruh di beberapa wilayah Melayu, seperti Riau, Jambi, Kep. Riau, Kalimantan Barat, dan Kep. Bangka Belitung. Duitnya tentu banyak. Pengaruhnya juga kuat. Ayah memegang kendali atas pemerintahan daerah di provinsi-provinsi tersebut. Beliau mensponsori nyaris seluruh kepala daerah saat Pilkada, sehingga mereka berutang banyak kepada Ayah.

Secara sederhana, mereka adalah budak-budaknya Ayah.

Ayahku lumayan jago menjadikan seseorang pengikutnya. Kharismanya kental. Suaranya lantang. Auranya intimidatif. Setiap orang dengan mudah tunduk dan menuruti kata-katanya. Kalau dia mau jadi politikus pun, pasti sukses. Sayangnya politikus harus menjadi pelayan rakyat. Sementara Ayah paling enggak suka jadi pelayan. Dia adalah master atas setiap orang yang dia anggap budaknya.

Nah, dari seluruh orang yang pernah dia temui, hanya satu orang yang selalu membangkang dan tak pernah takut melawan Maheswara Gardapati. Sosok ini berani mati melawan beliau. Berani menentang dan mempermalukan beliau di depan umum. Berani dilempar ke neraka, yang penting dia tak perlu menuruti kata-katanya. Dan beliau menyerah menghadapi orang ini, sehingga Maheswara Gardapati memutuskan berdamai saja dengannya.

Sosok itu adalah aku, Utama Gardapati. Anak laki-laki utamanya.

Tok, tok, tok!

"Sir, Mr. Gardapati is on the line. He's expecting your response." Bodyguard yang dikirim Ayah untuk menemaniku selama di Australia, mengetuk pintu. Dia mengabariku bahwa Ayah menelepon dari Indonesia.

"Just hung up!" balasku.

"It's urgent."

"I'm not dying, so it's not urgent for me."

"It's about your birthday gift."

"Ck!" Aku melempar ponsel ke atas tempat tidur dan berjalan malas menuju pintu kamar. Kubuka pintu, kutemukan sang bodyguard berdiri sambil mengulurkan ponselnya. Kusambar ponsel itu dan kunyalakan loudspeaker. Kulempar ke atas tempat tidur, kuambil lagi ponselku yang tadi. Aku sedang di tengah-tengah war Mobile Legends soalnya. "Ya?"

"Tama?" sapa Ayah. Suaranya berat, maskulin, dan intimidatif. "Apa kabar?"

"Sebelum telepon ini datang, kabar baik."

Ayah terkekeh renyah di ujung telepon. "Dua minggu lagi kamu ulang tahun."

"Sudah tahu," balasku.

"Ayah punya hadiah buat kamu."

"Is it your death?"

Ayah terkekeh lagi. "You know what? Semakin kamu benci Ayah, semakin kamu mirip Ayah. So it's a win for me."

Aku memutar bola mata. "Mau ngasih apa?"

"Sesuatu yang bakal kamu sukai."

"Kontol?"

"Lebih dari itu."

"Selusin kontol?"

"Hahaha." Ayah terkekeh lagi. "Tergantung. Tapi kalau kamu mau, boleh."

Aku mengangkat kedua jempolku dari layar, terdistraksi oleh fakta bahwa Ayah tidak mempermasalahkan tentang kontol. Padahal aku sedang memainkan Fanny, salah satu assassin paling sulit dikendalikan di game ini. Dan aku adalah player Fanny terbaik di Australia. Aku rela membiarkan HP Fanny berkurang demi mendengar lebih lanjut apa yang dimaksud Ayah.

Mencari Budak SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang