3: Topeng Ayam

3.4K 159 21
                                    


Di antara semua teman yang diteror keluargaku empat tahun lalu, satu temanku tetap setia dan memahami mengapa teror itu bukan salahku. Namanya Queen. Gadis cantik yang binal, yang sekarang berkuliah di salah satu kampus swasta mahal di Cikarang. Dia adalah cewek pertama yang tahu aku gay dan enggak pernah sekali pun bermasalah dengan itu.

"That's even great!" sahutnya saat aku melela kepada Queen kala SMA. "I finally found my gay bestie!"

Bagi Queen, lelaki gay adalah Pokemon. Harus ditangkap dan dipelihara untuk kelangsungan hidupnya.

Queen berasal dari keluarga kaya raya. Intimidasi keluargaku tak sanggup menghancurkan mereka. Queen tetap loyal kepadaku dan memahami mengapa keluargaku sebigot itu pada LGBT. Dia aktif mencariku ketika aku dibuang ke Natuna. Dia menelepon polisi ketika aku diculik ke dalam mobil—di mana kemudian aku ditenggelamkan ke laut. Dia juga menawarkan rumahnya yang gay-friendly sebagai tempat berlindungku.

Ketika semua temanku meninggalkanku karena terancam oleh keluargaku, hanya Queen yang tetap meneleponku dan bilang, "Ancaman keluarga lo cuma nunjukin betapa rendahnya mereka pada toleransi dan kemanusiaan. Bertahannya gue dari ancaman buat nunjukin ke mereka kalau gue lebih manusiawi dan berhati mulia."

Maka dari itu, sebelum melakukan perjalanan ke Pulau, aku menyempatkan diri ketemu Queen di sekitaran Pluit. Dia yang tadi kuhubungi saat di pesawat. Queen sedang berada di daerah kampusnya di Cikarang, tetapi dia rela ngebut ke Pluit demi bisa menemuiku.

"Pesawat kita akan lepas landas tepat tengah malam," ungkap Garuda Satu setelah aku menemui sepuluh kandidat itu. "Sebaiknya Tuan tidak bertemu siapa-siapa hingga keberangkatan. Ada yang perlu kita—"

"Kamu enggak bisa ngatur aku," penggalku sambil merapikan ikatan tali sepatu dan melompat dari atas kursi. "I own you now."

"Kita memasuki rush hour Jakarta. Perjalanan ke Halim bisa ditempuh lebih dari satu jam."

"Pluit ini dekat ke Cengkareng, kan? Kenapa enggak pesawatnya dipindahin ke sini, terus kita terbang dari sini?"

"Otoritas Bandara setempat sudah menutup kembali akses general aviation karena Bandara Halim Perdanakusuma telah selesai direnovasi. Semua pergerakan jet pribadi harus dilakukan dari Halim."

"Bukan urusanku." Aku mengangkat bahu. "Urusanku saat ini adalah ketemu temanku buat catch up. Urusanmu adalah mastiin aku terbang tengah malam ke Pulau, sesuai perintah Ayah. Iya enggak?"

Garuda Satu tak merespons apa-apa. Dia tahu apa yang kukatakan itu benar adanya. Dia membuntutiku selama beberapa meter keluar gudang, sambil mencoba pendekatan lain.

"Izinkan salah satu pengawal saya mengantar Tuan," tawarnya.

Aku mengibaskan tangan. "Enggak usah. Aku naik Grab aja."

"Untuk keamanan—"

"Buka baju kamu!" penggalku.

"Bagaimana?"

"Buka baju kamu! Itu perintah," kataku.

Setengah ragu, Garuda Satu melepas jasnya. Posisi kami ada di depan gerbang gudang sekarang. Beberapa kandidat yang belum pulang masih ada di sekitar. Orang-orang terkejut elihat ajudan nomor satu di perusahaan ini melepas jas hitamnya tiba-tiba.

"Kemeja dan dasi juga," tambahku.

Garuda Satu melempar jasnya ke atas tanah, diikuti kemeja dan dasinya. Dia telanjang dada lagi, memamerkan tubuh kekar sempurnanya di depan orang-orang. Sebagian kandidat yang menoleh, melongo melihat tubuh keren itu. Ketika Garuda Satu hendak membuka sepatu, aku menyetopnya.

Mencari Budak SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang