Chapter 2

490 85 8
                                    

Ketika Taehyung membuka pintu apartement, hal pertama dilihatnya adalah sepasang sepatu boots hitam, tidak dirapikan, tidak diletakkan ditempatnya. Dan Taehyung sangat tidak menyukai hal itu. Terbiasa rapi, segala miliknya tersusun dan menjadi sosok sangat bersih. Begitu menemukan kekacauan seperti ini— kepalanya menjadi berdenyut, menahan napas dan urat disekitar leher membentuk lebih besar dari kondisi relaks.

Belum lagi kondisi ruang tengah dipenuhi sampah, sisa kemasan ramen, es krim pisang, beberapa kotak susu dan kertas-kertas berserakan diatas meja. Suara berisik televisi sedangkan tidak ada yang menonton varietyshow mingguan dari grup idol ternama sempat bekerjasama dengan perusahaan dikelola Taehyung.

Tubuh berotot terlentang diatas karpet beludru. Melipat tangan dibawah mulut membuka sedangkan netranya memejam erat. Suara dengkuran halus agaknya semakin membuat Taehyung ingin menendang kaki Jungkook sekarang. Kenapa anak itu kemari tanpa memberitahukannya. Sebanyak apapun Taehyung mengganti password apartement, tetap saja Jungkook mengetahui dan berbuat sesukanya.

Mengambil remote control dan mematikan televisi, Taehyung kemudian melangkahkan kaki menuju kamarnya tanpa membangunkan Jungkook untuk sekedar menyuruhnya berpindah ke kamar lain. Oh, jangan mengharapkan apapun dari sulung Lim itu. Mustahil. Mulutnya terekat sempurna. Alasan ingin menyendiri dan tidak berantakan pula membuatnya membeli apartement untuk ia tinggali sendiri.

Niatnya, sih, begitu. Tetapi keras kepala apakah keturunan? Jungkook juga sama kerasnya ketika tidak mengindahkan larangan Taehyung untuk tidak datang ke kediamannya. Sejauh apapun kampus Jungkook dengan apartement Taehyung, tetap ia datangi dengan senang hati. Senyuman lebar menunjukkan deretan gigi saat amarah Taehyung memuncak tinggi sekali.

Melepaskan jam tangan, dasi masih melilit rapi dan kemeja membaluti tubuh gagahnya, Taehyung merongoh saku mengambil ponsel diletakkan diatas meja. Memandangi benda elektronik tersebut, bibirnya menyungging asimetris begitu memastikan jika sebenarnya kurungan tikus miliknya sudah terisi sejak kemarin, tetapi selayak ingin bermain-main— nyatanya sekarang kurungan tersebut masih kosong. Shienna sungguh bernyali besar patut Taehyung apresiasi.

"Anak itu keras kepala sekali, Taehyung. Papa tidak menduga Shienna seberani ini dan memilih mengikuti wawancara untuk mendaftar kuliah doktornya."

Sepuluh jemari ia mainkan, Taehyung duduk menghadap Sean yang memijati pelipis dan tarikan pelan pada sisi kening. Sepertinya Sean sungguh melewati masa tua dengan tidak tenang. Taehyung bisa membacanya ketika ia bertemu Sean sebelum pulang ke apartement beberapa jam lalu.

Menghembuskan napas, Taehyung mengutarakan pendapat. "Sepertinya Shienna menginginkan untuk melanjutkan studinya, pa. Taehyung tidak masalah untuk membatalkan pernikahan."— oh, kalau Shienna mendengar bagaimana manipulatifnya Taehyung, pasti sudah melemparkan sepatunya dan menjejalkan kedalam mulut besar Taehyung. Beruntung pertemuan itu hanya diisi oleh Taehyung dan Sean didalam ruangan kerja Sean dikediaman besar keluarga Sien.

"Lagipula kami masih muda untuk—"

"Tidak-tidak Taehyung." Sean segera menyela. "ini perjanjian masa muda papa dengan papa mu. Jadi tidak akan ada penundaan apalagi pembatalan pernikahan. Shienna akan pulang, anak itu hanya perlu dipahami sedikit lagi. Papa sungguh berharap kau menjadi suami Shienna. Tidak bisa anak itu sendirian ditempat asing seperti Boston. Papa tidak dapat mempercayai orang lain selain kau, Taehyung."

Tatapan Sean itu berwibawa. Ada kilau yang tegas kalau sedang berbicara. Nadanya lembut pada posisi tertentu, namun ketika kekesalannya dipicu seperti mengetahui Shienna datangi bar-bar di Boston dan menghabiskan waktunya dengan pria-pria asing, maka Sean akan lebih tegas sebagai sosok ayah. Ia tidak main-main mendidik Shienna. Kendati ia sangat menyayangi putrinya itu.

Win-Win SolutionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang