T

76 6 0
                                    

1989

             Sekelompok manusia tampaknya sedang menikmati sarapan dengan khidmat di meja makannya. Suara dentingan antara sendok dan piring memenuhi meja makan keluarga itu, tidak ada yang mencoba memecah keheningan. Setelah selesai dengan kegiatan sarapannya yang paling tua akhirnya mengeluarkan suaranya.

“Bagaimana sekolahmu?” tanya si paling tua.

“Biasa saja, kegiatan pengenalan lingkungan sekolah juga berjalan dengan lancar. Shankara juga dapat banyak teman selain Arkatama,” balas yang paling muda.

“Jangan kebanyakan bermain-main, kamu sudah SMA harusnya lebih banyak belajar,” tambah si paling tua.

“Iya,” Shankara merengut sedikit kemudian mengambil piring bekas makanannya untuk dibawa ke dapur. Apa salahnya jika ia ingin menikmati masa-masa remajanya seperti orang lain. Lagipula teman Shankara bukan orang jahat, bahkan kedua orang tuanya sudah kenal dekat dengan Arkatama.

“Ouch,” Shankara meringis ketika tangannya tak sengaja tersenggol ketika mencuci piring. Disibaknya lengan panjang seragam putih birunya itu, lebam biru menghiasi kulit tan-nya yang eksotis itu.

Banyak orang mengira bahwa Shankara lahir di keluarga yang hangat dan selalu bahagia sepanjang hidupnya. Tetapi pada kenyataannya sebaliknya, rumah tangga orang tuanya seolah berada di ujung jurang tinggal menunggu waktu sehingga mereka benar benar jatuh. Shankara sering dipukuli oleh Ayahnya dengan berbagai alasan, nilai sekolahnya yang jatuh hingga kondisi perasaan ayahnya yang sedang tidak baik sering kali dijadikan alasan.

Ibuknya pun tak jauh beda dari ayahnya, walaupun setidaknya sang ibuk lebih mendingan dari pada sang ayah. Ibu dan ayahnya merupakan pasangan yang berasal dari perjodohan, mereka sama sekali tidak saling mencintai. Bahkan sebelum dijodohkan masing masing dari orang tuanya memiliki pasangan tersendiri. Kakek dan Neneknya menjodohkan mereka berkedok janji lama sejak mereka bersahabat pada waktu sekolah.

Sang Ibunda selalu pulang sore ke rumah, padahal waktu mengajarnya sudah selesai dari jam 10 pagi. Sedangkan ayahnya sangat jarang pulang ke rumah, entah apa yang diperbuatnya di luar sana, Shankara tak mau tahu.

Seruan dari luar rumah memecah lamunan Shankara. Sang Dirgantara sudah siap dengan seragam putih birunya bertengger di sepedanya sambil menyerukan nama Shankara. Mendengar seruan itu Shankara segera bergegas ke luar rumah.

“Ya! Tunggu sebentar, saya ambil tas terlebih dahulu,” seru Shankara ke yang lebih tua. Arkatama terkekeh melihat Shankara yang bergegas masuk kembali ke dala rumahnya.

“Buk, Yah, Shankara pergi dulu,” seru Shankara seraih menyalimi kedua orang tuanya.

“Ya, hati-hati di jalan, pergi sama Tama kan?” Tama, panggilan ibuk untuk Arkatama.

“Iya buk, dah.. Shanka pergi dulu,” balas yang lebih muda kepada sang ibunda. Shankara segera menyandang tasnya kemudian keluar rumah. Ia duduk di teras rumahnya sembari memakai sepatu hitamnya. Setelah selesai dengan pekerjaannya Shankara segera menghampiri Arkatama, naik ke pijakan yang tersedia di sepeda kemudian menepuk bahu Arkatama tanda bahwa ia sudah siap.

“Mau kemana mas?” guyon Arkatama.

“Sekolah Jaya Bangsa ya pak,” balas Shankara. Mereka berdua terkekeh pelan, kemudian yang lebih tua mulai mengayuh sepedanya melanjutkan perjalanannya ke sekolah.

°°°

“Ini hari terakhir Mos sekolah, bagaimana perasaanmu?” tanya yang lebih tua.

“Biasa saja, tidak ada yang spesial,” balas yang muda.

“Ah kamu tidak seru, saya sangat bersemangat tak sabar menantikan bagaimana pelajaran yang akan saya terima kelak, juga bagaimana penampilan saya ketika memkai seragam putih abu-abu,” Shankara mendelikkan matanya mendengar perkataan Arkatama. Semangat sekali orang ini, batinnya. Tepukan pada bahu yang muda membuat empunya mengalihkan pandang dari yang tua untuk melihat siapa yang melakukannya.

“Tanda tangan senior kamu sudah lengkap?” tanya seorang anak laki-laki yang perawakannya kurang lebih sama dengan Shankara hanya anak tersebut memiliki kulit putih bersih dengan pipi yang sedikit chubby.

“Ah, belum Wan, saya belum sempat,” jawaban Shankara atas pertanyaan anak tadi, Awan.

“Mau bareng? Aku juga masih banyak yang kosong,” ajak Awan. Shankara mengangguki ajakan Awan, ia segera mengeluarkan satu buku dari tasnya untuk menyanggupi ajakan Awan tadi yaitu meminta tanda tangan dari seniornya. Ini merupakan salah satu tantangan bagi peserta Mos, yaitu meminta tanda tangan senior, dimana senior itu biasanya memberikan sebuah misi dan yang meminta harus menyanggupi misi itu.

°°°

“Besok libur kan?” tanya Arkatama, memecah lamunan Shankara yang sedang menatap corat-coret karya senior-seniornya pada buku tulisnya.

“Hm? Ah ya, besok Sabtu kita libur karena Mos sudah selesai. Senin langsung masuk,” ucap Shankara.

“Besok mau pergi dengan saya? Saya dengar katanya ada bazar makanan di pusat kota. Sekalian menyenangkan hati setelah beberapa hari ini kita disibukkan oleh Mos,” ajak Arkatama.

“Boleh, naik kereta ya berarti? Saya izin ibuk sama ayah terlebih dahulu,” balas Shankara.

“Iya, kabari saya kalau ternyata dibolehkan, nanti saya jemput,”

“Ya..,” Shankara tersenyum kecil mendengar perkataan dari Arkatama.

°°°

TBC

Tentang Shankara || HajeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang