Ini sudah hari kelima sejak kepergian ayahnya dari rumah. Sang Ibu kelihatan baik-baik saja namun Shankara tau apa yang ada di dalam hati sang ibu. Tiap malam ketika Shankara hendak mengambil minum ke dapur, ia mendengar suara isak tangis dari kamar ibunya.
Shankara tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan ia tak tahu dimana keberadaan ayahnya saat ini. Shankara sudah berusaha menghubungi ayahnya menggunakan telepon umum tetapi nomor yang dihubungi tak kunjung mengangkat panggilan dari Shankara.
Pemuda berkulit tan itu termenung di teras rumahnya. Seorang wanita paruh baya yang berada tak jauh dari kediaman sang pemuda berkulit tan itu lantas menyeletuk kepada anaknya.
“Ayahnya masih belum bisa dihubungi kah?” tanyanya.
“Setahu Arka sih belum sampai saat ini,” sang anak ikut memerhatikan pemuda itu, kemudian ia bangkit menepuk-nepuk bokongnya berusaha membersihkan kotoran yang menempel di celananya.
“Mau kemana?” tanya yang lebih tua.
“Mau mengajak Shankara ke perpustakaan umum, tes beasiswa ke Jerman tak lama lagi,” sahutnya.
Pemuda jangkung itu lantas keluar dari pekarangan rumahnya, kemudian memasuki pekarangan rumah yang ada di depan rumahnya. Menjentikkan jari di hadapan yang muda. Yang muda kembali dari alam bawah sadarnya. Merengutkan alisnya menatap yang lebih tua.
“Mau ikut saya ke perpustakaan umum? Dari pada kamu berhalusinasi di sini mending kita belajar untuk persiapan tes beasiswa yang kurang dari sebulan ini,” ajak yang tua. Yang muda lantas melebarkan senyumnya, menganggukkan kepalanya bersemangat. Pemuda jangkung itu tertawa kecil melihatnya, gemas.
°°°
Genap sudah dua minggu sang ayah meninggalkan rumah. Shankara sebenarnya tidak begitu sedih ditinggal sang ayah. Namun melihat ibuk yang tidak bersemangat melakukan aktivitas sehari-harinya membuat Shankara bertekad untuk datang ke tempat kerja sang ayah.
Shankara sudah siap dengan kemeja hitam dan celana jeans-nya. Shankara keluar rumahnya kemudian segera menuju tempat kerja ayahnya menggunakan taksi. Sesampainya di sana Shankara segera turun lekas membayar sopir taksi tadi. Ia memandangi salah satu bangunan yang kelihatannya lebih besar dibanding bangunan-bangunan di sampingnya. Ia lantas masuk, berjalan ke meja resepsionis yang tersedia.
“Ada yang bisa saya bantu?” sang resepsionis tersenyum ramah ke Shankara.
“Ah ya, itu.. em.. saya mau cari seseorang. Pak Diratama Aditya ada disini?” tanya Shankara.
“Pak Diratama Adityatama… tunggu sebentar ya, ah Pak Diratama baru saja selesai meeting, anda sudah ada janji untuk bertemu beliau?”
“Oh itu.. saya belum bilang sih,” Shankara menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Waduh, susah kalau belum ada janji sebelumnya,” sang resepsionis tersenyum canggung.
“Ah, bisa tolong hubungi beliau? Saya anaknya,” agak terkejut mendengar pernyataan Shankara, sang resepsionis membolakan matanya kemudian mengangguk seraya tangannya sibuk menekan tombol-tombol di telepon. Shankara memerhatikan sekelilingnya seraya sang resepsionis sibuk dengan teleponnya.
“Ah.. baiklah,” sang resepsionis menutup teleponnya.
“Saya sudah mencoba menghubungi Pak Diratama, tetapi Pak Diratama tidak ada di ruangan. Saya juga sudah meminta yang lain memberi tahu saya ketika Pak Diratama sudah ada di ruangannya. Kira-kira anda mau menunggu?”
“Iya, tidak apa-apa saya bisa menunggu. Permisi mbak, saya mau ke toilet, dimana ya?” Shankara sudah menahan kencingnya dari tadi, ia harus segera menuntaskannya. Sang resepsionis segera menunjukkan arah toilet kepada Shankara, lantas Shankara segera melesat menuju arah yang ditunjuk.
Shankara telah menuntaskan hasratnya. Ia masih mencuci tangannya di wastafel ketika mendengar suara-suara yang tak seharusnya ia dengar.
“Ah.. Mas, jangan di sini nanti ada orang yang liat,” Shankara biasa saja sebelum ia mendengar balasan dari lawan bicara.
“Tidak apa-apa, aku sudah memastikan tidak ada yang lihat,” tubuh Shankara beku seketika. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi dahinya. Otaknya terus berkata kalau ini bukan seperti yang ia dipikirkan. Tapi apa dia harus membohongi pendengarannya? Jelas-jelas ini suara ayahnya.
Shankara masih terpaku di depan wastafel. Tangannya sudah dingin, tetapi ia harus memastikan. Shankara memaksakan kakinya untuk melangkah, pelan menuju pintu keluar tempatnya berada. Ia menyembulkan kepalanya, mengintip dari balik dinding. Tubuhnya lemas seketika, apa yang ia terka benar adanya.
°°°
TBC
Momen Hjw bikin gila, mana jongu rap volkno lagi T.T
Have a nice day manteman, jan lupa vote yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Shankara || Hajeongwoo
FanfictionTentang dua sahabat yang berjanji untuk menggapai cita-cita mereka bersama. °°° "Shankara... Kata ibuk nama saya artinya kebahagiaan, tapi kenapa saya tidak bahagia?" "Maaf, Shan..," °Brothership °notbxb