K

55 4 0
                                    

Malam itu udara cukup dingin, Arsha merapatkan jaketnya sembari bertengger pada sepeda motornya. Menunggu Shankara yang tak kunjung kembali. Sudah lima belas menit terlewat sejak Shankara masuk ke dalam rumahnya. Apa Shankara masih belum menemukan kartu pesertanya? Arsha bertanya-tanya dalam hati.

Prang!

Arsha yang mendengar keributan berasal dari dalam rumah Shankara lantas berlari terbirit-birit memasuki rumah itu. Indra penglihatannya menangkap Shankara yang tengah berbaring sembari memegangi kepalanya, sedangkan di sisi lain ada sesosok pria yang memegang botol minuman keras yang sudah pecah.

Melihat Shankara yang merintih kesakitan, Arsha segera menghampirinya. Ia bertanya kepada Shankara apa yang terjadi, tetapi tak kunjung mendapat balasan. Sedangkan Shankara hanya mendengar sayup-sayup perkataan Arsha.

“ANDA GILA?” Arsha berteriak marah ke pria di hadapannya. Sedangkan pria di hadapannya hanya diam saja memandang kosong ke arah Shankara seperti orang linglung.

“K-kak Arsha..” cicit Shankara.
Arsha mengalihkan perhatiannya ke Shankara.

“Iya Shan, tahan ya. Saya hubungi Arkatama terlebih dahulu,” baru saja tangannya ingin menekan nomor telepon Arkatama, Shankara malah menahan tangannya.

“Jangan.. jangan kasih tau Arkatama, ambulans.. telpon ambulans,” pintanya. Arsha dengan tangan yang bergetar mengiyakan permintaan Shankara. Ia menghubungi ambulans, kemudian menyebutkan alamat tempatnya berada sekarang.

“S-shankara.. hei.. T-tahan sebentar ya.. Ambulans-nya sebentar lagi datang,” Arsha panik melihat banyaknya darah yang merembes dari kepala Shankara.

“Shankara! Shankara, dengar kakak, jangan tutup mata kamu!” perintah Arsha berteriak supaya Shankara mempertahankan kesadarannya. Ia mengalihkan perhatiannya kepada pria yang ia tebak adalah ayah Shankara. Pria itu terduduk lemas sembari melihat tangannya, tubuhnya bergetar seolah menolak kenyataan bahwa ia menyakiti anaknya dengan tangannya sendiri.

“Kak.. saya ngantuk..”

“Iya, tapi jangan tidur dulu ya. Tahan.. Shankara,”

“Kak.. telinga saya sakit.. berdengung,”

“Iya.. hiks.. hiks.. S-sebentar ya Shankara, ambulans segera datang,” Arsha terisak melihat keadaan Shankara yang mengenaskan. Air mata membanjiri wajahnya. Muka Shankara penuh dengan lebam, berarti tadi ia sempat dipukuli oleh ayahnya.

Suara sirine ambulans terdengar dari arah luar. Arsha pamit kepada Shankara sebentar untuk  mengarahkan petugasnya. Beberapa tetangga ada yang keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Tak terkecuali rumah Arkatama, ibunda Arkatama terbangun karena suara sirine yang memekakkan telinga.

Ibunda Arkatama terkejut ketika melihat Arsha di depan rumahnya. Ia lantas menghampiri Arsha yang masih terisak. Arsha juga sama terkejutnya, tetapi ia segera mengalihkan perhatiannya untuk menyuruh petugas kesehatan menolong Shankara.

“Arsha, ada apa?” Ibunda Arkatama menahan tangan Arsha yang hendak masuk ke dalam rumah.

“Shankara, tan,” Arsha lantas kembali terisak. Ibunda Arkatama bingung, tetapi kebingungannya itu lantas terjawab ketika melihat tubuh Shankara yang dibopong dengan tandu keluar dari dalam rumah.

“Arsha duluan tan, nanti saya cerita. Ah iya, tolong rahasiakan ini dari Arkatama,” mohon Arsha. Ibundanya Arkatama menganggukkan kepalanya tanda setuju. Kemudian Arsha berpesan sekali lagi kepadanya untuk menelpon polisi. Ia heran untuk apa polisi itu, tetapi ketika melihat sepasang sepatu kulit berwarna hitam yang berada di dekat kakinya ia mengerti untuk apa ia menelpon polisi.

Arsha sudah pergi dengan sepeda motornya membuntuti ambulans yang membawa Shankara. Sedanglan ibunda Arkatama tetap diam di rumah Shankara menunggu polisi datang.

°°°

Tbc

Tentang Shankara || HajeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang