A

80 4 0
                                    

Cahaya matahari mengintip malu-malu dari balik jendela, membangunkan seorang pemuda yang tengah bergelung di kasurnya. Ketukan di pintu kamarnya membuat sang Dirgantara terbangun sepenuhnya. Ia lantas menginjakkan kakinya ke lantai yang dinginnya menusuk kaki sang Dirgantara. Arkatama kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

             Arkatama kini tengah sarapan di meja makan ditemani bunda dan ayahnya. Ia telah lengkap dengan seragam putih abunya. Persiapannya sudah matang untuk menghadapi tes hari ini. Tetapi ekor matanya menangkap sang ibunda yang bergerak gelisah.

             “Ada apa bun?” Tanya Arkatama.

             “Ah tidak, bunda hanya gugup karena hari ini kamu ada tes beasiswa,” balas sang ibunda.

             “Bunda tenang saja, saya yakin saya akan bisa. Saya akan membawa kabar bahwa saya lolos tes itu, bersama Shankara tentunya,” sang Bunda tersenyum kecut ketika mendengar nama Shankara disebutkan oleh sang anak.

             “Iya.. sudah cepatlah pergi, nanti kamu terlambat,” perintah sang ibunda. Arkatama menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan keluar rumah untuk memakai sepatunya.

             “Pergi dulu bun, doakan supaya Arkatama lolos tes. Doakan Shankara juga,” ujar Arkatama sebelum melajukan sepedanya menuju sekolah.

°°°

             Arsha menatap kosong pada pemuda yang tengah terbaring di brankar rumah sakit. Shankara belum juga sadar hingga saat ini, kata dokter kemungkinan ia akan sadar hari ini atau mungkin besok. Kepala Shankara mengalami benturan keras yang menyebabkan tubuh Shankara shok kemudian pingsan.

Sepupu Arkatama belum pulang dari kemarin malam, bagaimana bisa ia meninggalkan Shankara seorang diri di ruang rawat inapnya yang hanya ditemani oleh bunyi elektrokardiogram. Ia meringis ketika teringat bahwa Shankara mendapati 3 jahitan di kepalanya.

Ia tak tahu begitu dalam tentang latar belakang Shankara. Arsha hanya diberitahu oleh Arkatama bahwa ada temannya yang membutuhkan tempat tinggal akibat bertengkar dengan keluarganya.

Derit pintu yang terbuka mengambil atensi Arsha dari lamunannya. Itu tantenya, datang dengan buah-buahan di tangannya.

“Belum sadar juga?”

“Belum,”

“Kamu absen kuliahmu Sha?” tanya tantenya.

“Iya tan, saya tak sampai hati bila harus meninggalkan Shankara seorang diri,” balas si keponakan.

“ini makan buah-buahan nya. Biar kamu ada tenaga untuk menjaga Shankara. Setelah ini kamu pulang, bersihkan diri biar tante yang jaga Shankara,” Arsha menuruti kata tantenya. Ada benarnya juga, ia harus membersihkan diri dari darah Shankara yang masih menempel di pakaiannya.

°°°

Di sekolah, Arkatama terlihat mondar-mandir di depan ruangan tes. Kepalanya mendongak kesana-kesini seperti sedang mencari seseorang. Matanya menangkap seorang pemuda yang tak asing di matanya, lantas ia menghampiri orang itu.

“Awan,”

“Ah, Tam. Kenapa?”

“Shankara mana?”

“Hah bukannya dia pergi sama kamu? Tadi waktu aku mau jemput ke rumah Kak Arsha rumahnya kosong. Jadi aku kira kamu sudah terlebih dulu menjemput Shankara,”

Arkatama mengernyitkan dahinya bingung. Ia tidak ada menjemput Shankara, lantas pergi kemana bocah itu. Padahal hari ini tes beasiswa dan tak ada susulannya. Panggilan untuk peserta tes agar segera masuk ruangan mengambil alih atensi Arkatama dari Awan.

Tentang Shankara || HajeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang