R

63 6 6
                                    

Shankara membuka matanya ketika merasakan ada yang mendekatinya. Netranya menangkap sesosok pemuda jangkung yang tampak familiar berjalan ke arahnya. Shankara membuka mulutnya ingin menyapa pemuda itu, tetapi tubuhnya masih belum terbiasa.

"A-ar..," hanya itu yang dapat keluar dari mulut Shankara.

"Iya Shan..," balas Arkatama.

"Ar.. hiks," isakan keluar dari mulut yang lebih muda.

"A-ar.. sakit.. hiks takut..," Arkatama segera membawa yang lebih muda ke dalam dekapannya.

"Tidak apa-apa Shan.. saya di sini.. kakak di sini," bisik yang lebih tua ke telinga kiri Shankara. Tetapi hal itu justru membuat Shankara menangis lebih kencang.

"AR, KAMU HIKS NGOMONG APA? SAYA TIDAK BISA DENGAR APA-APA," Shankara berteriak, kaget akan fenomena yang terjadi pada dirinya. Arkatama juga ikut terkejut ketika mendengar teriakan Shankara. Tangannya bergetar ketika kepalanya memahami apa yang baru saja Shankara ucapkan.

"Shan..," Arkatama sekali lagi berbicara di dekat telinga kiri Shankara. Tetapi sang empunya telinga tidak bisa mendengar apa-apa selain hembusan nafas yang menerpa telinganya. Arkatama segera keluar ruangan untuk mencari dokter.

Arsha yang baru saja kembali dari ruangan dokter dengan raut muka yang mengenakkan mengernyitkan dahinya heran melihat Arkatama yang berlarian di koridor rumah sakit.

"Kak.. Shankara," dua kata itu membuat Arsha segera berbalik arah untuk memanggil dokter.

Mereka kembali ke kamar inap menyaksikan Shankara yang memukul-mukul kepalanya sambal menangis. Shankara menatap dokter dengan mata yang berkaca-kaca.

"S-saya kenapa dok? Telinga kiri saya rasanya kosong, saya tidak bisa mendengarkan bunyi apa pun. Saya harus gimana dok? Hiks saya harus gimana dok?" air mata membanjiri wajah Shankara. Pemandangan itu sangat menyayat hati bagi Arkatama dan Arsha.

Hati Arkatama teriris menyaksikan Shankara di depan sana yang harus menerima fakta mengejutkan tentang hal yang terjadi pada tubuhnya. Dokter berusaha menenangkan Shankara, tetapi Shankara masih saja memukul-mukul kepalanya bahkan sekarang lebih kencang.

Arkatama dan Arsha diperintahkan untuk keluar ruangan oleh dokter. Akhirnya sang dokter memanggil perawat untuk menyuntikkan obat penenang kepada Shankara. Sekarang Shankara sudah kembali tertidur. Dokter keluar menghampiri Arsha dan Arkatama.

"Pasien mengalami ketulian pada telinga kirinya. Mulanya ini hanya perkiraan saya karena pasien mengalami benturan keras pada kepalanya. Tapi tadi ketika pasien mengatakan bahwa ia tidak bisa mendengar membuktikan bahwa perkiraan saya benar-benar terjadi,"

"Pasien sudah bisa kembali ke rumahnya besok lusa. Saya akan meresepkan obat yang akan dikonsumsi oleh pasien lengkap dengan obat penenang. Tetapi berikan obat penenang kepada pasien jika keadaan benar-benar sudah tidak dapat dikontrol lagi. Pasien harus didampingi dengan baik, dampak psikis yang diterima cukup banyak. Saya mohon kepada kalian untuk membantu pasien menerima kenyataannya, baiklah mungkin itu saja, saya pamit untuk melayani pasien yang lain," sang dokter tersenyum ramah kemudian berlalu dari hadapan keduanya.

°°°

Sore hari, Arkatama masih setia berada di ruangan serba putih itu. Menemani Shankara yang masih saja setia pada alam mimpinya. Arsha sudah pergi sedari tadi untuk ke kantor polisi. Pergerakan kecil pada jari Shankara tertangkap oleh netra Arkatama. Baru saja ia hendak keluar memanggil dokter, suara serak nan merdu khas seseorang memebuatnya menghentikan aksinya.

"Semesta kejam ya Ar," suara itu begitu lirih membuat Arkatama yang mendengarnya turut merasakan perasaan penyebut.

"Shankara... Kata ibuk nama saya artinya kebahagiaan, tapi kenapa saya tidak bahagia?" Arkatama menoleh ke arah Shankara, tidak ada air mata yang keluar dari sana tapi mengapa kedengarannya sangat menyedihkan?

Tentang Shankara || HajeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang