N

99 8 0
                                    


Ketukan di pintu kamar bercat coklat kehitaman itu membangunkan empunya dari mimpi. Suara lembut khas perempuan menyerukan nama sang Aditya. Shankara meregangkan tubuhnya kemudian menguap, mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi.

             “Yaa, Shanka sudah bangun buk!” seru sang pemilik kamar kepada sang ibu yang dari tadi menyerukan namanya.

             “Cepatlah mandi, sudah siang ini. Walaupun hari Minggu bangunnya tetap harus pagi nak,” seru sang ibu dari luar kamar kemudian berlalu begitu saja.

             Diliriknya jam dinding yang ada pada kamarnya, ah masih jam delapan rupanya. Siang apanya, itu masih tergolong pagi bagi Shankara. Apakah ibunya lupa bahwa Shankara juga lelaki pada umumnya yang suka bangun siang. Ia tak ambil pusing, segera dibawa handuk bersamanya ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

°°°

             Kaos oblong berwarna putih serta celana pendek berwarna coklat sudah melekat di badan sang Aditya. Ia mengambil jaketnya memakainya kemudian melangkah keluar kamar. Shankara melewati meja makan yang berisikan ibunya yang sedang menikmati sepiring nasi goreng. Shankara tidak melihat ayahnya disini, ah sepertinya pria tua itu belum pulang dari kemarin.

             “Mau pergi kemana nak?” tanya ibunda Shankara.

             “Mau kedepan gang buk, Shankara kepengen bubur ayam, tidak apa-apa kan buk?” balas Shankara.

             “Ya dak apa-apa, emang ibuk pernah larang kamu toh?” guyon sang ibunda. Kekehan kecil keluar dari mulut Shankara, ah ia sangat amat menyayangi wanita yang ada di hadapannya ini. Setelah berpamitan dengan ibuk, Shankara kemudian berjalan kaki menuju tempat jualan bubur ayam yang biasa ia beli.

             Dari jauh Shankara melihat sosok jangkung yang tampak familiar di tempat bubur ayam langganannya. Ia menyipitkan matanya berusaha mengingat dimana ia pernah melihat pria itu. Kilasan-kilasan tentang kejadian kemarin menyerang Shankara, rupanya itu pria yang menolongnya kemarin. Tetapi Shankara baru kali ini melihatnya disini, apakah ia tetangga baru Shankara yang pindah kemarin? Entahlah.

             “Kang, biasa yak.. bubur ayam gak pakai kacang satu,” ujar Shankara kepada penjual bubur ayam. Sosok yang dipanggil kang itu menoleh ke arah Shankara kemudian menganggukkan kepalanya.

             “Shankara?” suara berat yang tidak lagi mengejutkan Shankara mengambil alih atensi lelaki itu. Shankara hanya memberikan senyum tipis sebagai balasan.

             “Kamu tinggal dekat sini Shan?” tanyanya. Ah mengapa pria itu terlihat seperti sudah akrab sekali dengan Shankara, bahkan seenaknya menyebutkan namanya disaat Shankara sendiri saja belum tahu siapa namanya.

             “Iya, seharusnya saya yang nanya begitu. Sejak kapan kamu tinggal disini?” balas sang pemuda kulit tan.

             “Ingat cerita saya kemarin kalau saya pindah rumah? Saya pindah ke rumah di dekat sini, dari sini lurus aja terus belok kanan sudah sampe. Rumahnya cat abu-abu,” jelas si pria.

             “Ah disitu, jadi ternyata kamu tetangga baruku itu. Rumahku persis di depan rumahmu, warnanya putih,” ujar sang Aditya.

             “Wah! Kebetulan yang sangat mengejutkan. Oh ya kita belum berkenalan secara resmi. Perkenalkan nama saya Arkatama Dirgantara,” sang empunya nama mengusap telapak tangannya pada baju sebelum menyodorkannya untuk dijabat oleh Shankara. Shankara yang melihat tangan itu lantas menyambutnya.

             “Shankara Aditya,” balasnya dengan senyum manis yang membuat siapa saja bisa terpana melihatnya.

             “Anu mas, ini buburnya sudah siap dua-dua nya buat mas mas sekalian,” suara sang tukang bubur yang menginterupsi membuat keduanya melepaskan jabat tangan itu untuk menerima bubur ayam yang sudah siap. Shankara membayar bubur ayam itu kemudian berlalu diikuti oleh Arkatama.

             “Shan, kamu jalan kaki?” Tanya Arkatama.

             “Iya? Kenapa? Ada masalah?” serang Shankara.

             “Ah tidak, saya kesini naik sepeda, kalau mau kita bisa boncengan sih, kalau mau sa-“

             “Mau, ayok mana sepedanya?”

             “-ja,” kalimat Arkatama terpotong oleh Shankara yang langsung menjawab. Shankara sangat ingin naik sepeda dari dulu tapi apalah daya ibuk dan ayah tak mengizinkan. Katanya mending duitnya ditabung untuk langsung beli motor kelak.

             Shankara berdiri di bagian belakang sepeda dengan Arkatama yang memboncengnya, menikmati terpaan angin yang kadang menerbangkan poninya. Tak lama ia sampai di halaman rumahnya.

             “Terima kasih, Ar.” Ujar Shankara. Arkatama hanya tersenyum kemudian membelokkan sepedanya menuju rumahnya.

°°°

TBC

Arkatama as Watanabe Haruto

Gimana ceritanya? Semoga kalian suka ya!

Tentang Shankara || HajeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang